KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH,
HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT
4.1 Masalah Kepercayaan dan
Tradisi
KEPERCAYAAN yang baik, landasan pokok bagi masyarakat
Islam. Tauhid inti daripada kepercayaan tersebut dan jiwa
daripada Islam secara keseluruhannya. Oleh karena itu
melindungi kepercayaan dan tauhid, adalah pertama-tama yang
dilakukan oleh Islam dalam perundang-undangan maupun
da'wahnya.
Begitu juga memberantas kepercayaan jahiliah yang
dikumandangkan oleh polytheisme yang sesat itu, suatu
perintah yang harus dikerjakan demi membersihkan masyarakat
Islam dari noda-noda syirik dan sisa-sisa kesesatan.
4.1.1 Nilai Sunnatullah dalam Alam
Semesta
Pertama kali aqidah yang ditanamkan Islam dalam jiwa
pemeluknya, yaitu: bahwa alam semesta yang didiami manusia
di permukaan bumi dan di bawah kolong langit tidak berjalan
tanpa aturan dan tanpa bimbingan, dan tidak juga berjalan
mengikuti kehendak hawa nafsu seseorang. Sebab hawa nafsu
manusia, karena kebutaan dan kesesatannya, selalu
bertentangan.
Firman Allah:
"Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu
mereka, niscaya akan rusaklah langit dan bumi serta
seluruh makhluk yang ada di dalamnya." (al-Mu'minun: 71)
Namun perlu dimaklumi, bahwa alam ini dikendalikan dengan
undang-undang dan hukum yang tetap, tidak pernah berubah dan
berganti, sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Quran dalam
beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
"Kamu tidak akan menjumpai sunnatullah itu
berganti." (Fathir: 43)
Kaum muslimin telah belajar dari kitabullah dan sunnah
Rasul supaya menjunjung tinggi sunnatullah yang berbentuk
alam semesta ini dan mencari musabab yang diperoleh dari
sebab-sebab yang telah diikatnya oleh Allah, serta supaya
mereka menolak apa yang dikatakan sebab yang sekedar dugaan
semata yang biasa dilakukan oleh para biksu, ahli-ahli
khurafat dan pedagang agama.
4.1.2 Memberantas Ramalan dan
Khurafat
Nabi Muhammad s.a.w. datang dan dijumpainya di
tengah-tengah masyarakat ada sekelompok manusia tukang dusta
yang disebut kuhhan (dukun) dan arraf (tukang ramal). Mereka
mengaku dapat mengetahui perkara-perkara ghaib baik untuk
masa yang telah lalu maupun yang akan datang, dengan jalan
mengadakan hubungan dengan jin dan sebagainya.
Justru itu Rasulullah s.a.w. kemudian memproklamirkan
perang dengan kedustaan yang tidak berlandaskan ilmu,
petunjuk maupun dalil syara'.
Rasulullah membacakan kepada mereka wahyu Allah yang
berbunyi:
"Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui
perkara ghaib di langit dan di bumi melainkan Allah
semesta." (an-Naml: 65)
Bukan Malaikat, bukan jin dan bukan manusia yang
mengetahui perkara-perkara ghaib.
Rasulullah juga menegaskan tentang dirinya dengan
perintah Allah s.w.t. sebagai berikut:
"Kalau saya dapat mengetahui perkara ghaib,
niscaya saya dapat memperoleh kekayaan yang banyak dan
saya tidak akan ditimpa suatu musibah; tidak lain saya
hanyalah seorang (Nabi) yang membawa khabar duka dan
membawa khabar gembira untuk kaum yang mau beriman."
(al-A'raf: 188)
Allah memberitakan tentang jinnya Nabi Sulaiman sebagai
berikut:
"Sungguh andaikata mereka (jin) itu dapat
mengetahui perkara ghaib, niscaya mereka tidak kekal
dalam siksaan yang hina." (Saba': 14)
Oleh karena itu, barangsiapa mengaku dapat mengetahui
perkara ghaib yang sebenarnya, berarti dia mendustakan
Allah, mendustakan kenyataan dan mendustakan manusia
banyak.
Sebagian utusan pernah datang ke tempat Nabi, mereka
menganggap bahwa Nabi adalah salah seorang yang mengaku
dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka
menyembunyikan sesuatu di tangannya dan berkata kepada Nabi:
Tahukah tuan apakah ini? Maka Nabi menjawab dengan
tegas:
"Aku bukan seorang tukang tenung, sebab
sesungguhnya tukang tenung dan pekerjaan tenung serta
seluruh tukang tenung di neraka."
4.1.3 Percaya Kepada Tukang Tenung,
Kufur
Islam tidak membatasi dosa hanya kepada tukang tenung dan
pendusta saja, tetapi seluruh orang yang datang dan bertanya
serta membenarkan ramalan dan kesesatan mereka itu akan
bersekutu dalam dosa. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
"Barangsiapa datang ke tempat juru ramal,
kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan apa
yang dikatakan, maka sembahyangnya tidak akan diterima
selama 40 hari." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa datang ke tempat tukang tenung,
kemudian mempercayai apa yang dikatakan, maka sungguh dia
telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik
dan kuat)
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu
mengatakan, bahwa hanya Allahlah yang mengetahui perkara
ghaib, sedang Muhammad sendiri tidak mengetahuinya, apalagi
orang lain.
Firman Allah:
"Katakanlah! Saya tidak berkata kepadamu, bahwa
saya mempunyai perbendaharaan Allah, dan saya tidak dapat
mengetahui perkara ghaib, dan saya tidak berkata kepadamu
bahwa saya adalah malaikat, tetapi saya hanyalah
mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku." (al-An'am: 50)
Kalau seorang muslim telah mengetahui persoalan ini dari
al-Quran yang telah menyatakan begitu jelas, kemudian dia
percaya, bahwa sementara manusia ada yang dapat menyingkap
tabir qadar, dan mengetahui seluruh rahasia yang
tersembunyi, maka berarti telah kufur terhadap wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
4.1.4 Mengadu Nasib dengan
Azlam
Justru hikmah yang telah kami sebutkan di atas, maka
Islam mengharamkan mengadu nasib dengan azlam.
Azlam disebut juga qadah, yaitu semacam anak panah yang
biasa dipakai oleh orang-orang Arab jahiliah, sebanyak tiga
buah:
- Pertama, tertulis: aku diperintah Tuhan.
- Kedua, tertulis: aku dilarang Tuhan.
- Ketiga, kosong.
Kalau mereka bermaksud akan bepergian atau kawin dan
sebagainya mereka pergi ke tempat berhala yang di situ ada
azlam, kemudian mereka mencari untuk mengetahui apa yang
akan diberikan kepada mereka itu dalam hal bepergian,
peperangan dan sebagainya dengan jalan mengundi tiga batang
anak panah tersebut. Kalau yang keluar itu anak panah yang
tertulis aku diperintah Tuhan, maka dia laksanakan
kehendaknya itu. Dan jika yang keluar itu anak panah yang
tertulis aku dilarang Tuhan, maka mereka bekukan rencananya
itu. Tetapi kalau yang keluar anak panah yang kosong, maka
mereka ulangi beberapa kali, sehingga keluarlah anak panah
yang memerintah atau yang melarang.
Yang sama dengan ini, yaitu apa yang kini berlaku di
masyarakat kita, seperti bertenung dengan menggaris-garis di
tanah, pergi ke kubur, membuka Quran, membaca piring dan
sebagainya. Semua ini perbuatan mungkar yang oleh Islam
diharamkan.
Setelah menyebutkan beberapa macam makanan yang
diharamkan, kemudian Allah berfirman sebagai berikut:
"(Dan diharamkan juga) kamu mengetahui nasib
dengan mengundi, bahwa yang demikian itu perbuatan
fasik." (al-Maidah: 3)
Dan sabda Nabi:
"Tidak akan mencapai derajat yang tinggi orang
yang menenung, atau mengetahui nasib dengan mengundi,
atau menggagalkan bepergiannya karena percaya kepada
alamat (tathayyur)." (Riwayat Nasa'i)
Sihir
Justru itu pula Islam menentang keras perbuatan sihir dan
tukang sihir.
Tentang orang yang belajar ilmu sihir, al-Quran
mengatakan:
"Mereka belajar suatu ilmu yang membahayakan
diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat buat mereka."
(al-Baqarah: 102)
Rasulullah s.a.w. menilai sihir sebagai salah satu
daripada dosa besar yang bisa merusak dan menghancurkan
sesuatu bangsa sebelum terkena kepada pribadi seseorang, dan
dapat menurunkan derajat pelakunya di dunia ini sebelum
pindah ke akhirat. Justru itu Nabi bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara besar yang merusak. Para
sahabat bertanya: Apakah tujuh perkara itu, ya
Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu: 1) menyekutukan Allah; 2)
sihir; 3) membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan
kecuali karena hak; 4) makan harta riba; 5) makan harta
anak yatim, 6) lari dari peperangan; 7) menuduh
perempuan-perempuan baik, terjaga dan beriman." (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Sebagian ahli fiqih menganggap, bahwa sihir itu berarti
kufur, atau membawa kepada kufur.
Sementara ada juga yang berpendapat: ahli sihir itu wajib
dibunuh demi melindungi masyarakat dari bahaya sihir.
Al-Quran juga telah mengajar kita supaya kita suka
berlindung diri kepada Allah dari kejahatan tukang sihir,
yaitu firmanNya:
"(Dan aku berlindung diri) dari kejahatan tukang
meniup simpul." (al-Falaq: 4)
Peniup simpul salah satu cara dan ciri yang dilakukan
ahli-ahli sihir. Dalam salah satu hadis dikatakan:
"Barangsiapa meniup simpul, maka sungguh ia
telah menyihir, dan barangsiapa menyihir maka sungguh dia
telah berbuat syirik." (Riwayat Thabarani dengan dua
sanad; salah satu rawi-rawinya kepercayaan)
Sebagaimana halnya Islam telah mengharamkan pergi ke
tempat dukun untuk menanyakan perkara-perkara ghaib, maka
begitu juga Islam mengharamkan perbuatan sihir atau pergi ke
tukang sihir untuk mengobati suatu penyakit yang telah
dicobakan kepadanya, atau untuk mengatasi suatu problema
yang dideritanya. Cara-cara semacam ini tidak diakuinya oleh
Nabi sebagai golongannya. Sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami, barangsiapa yang
menganggap sial karena alamat (tathayyur) atau minta
ditebak kesialannya dan menenung atau minta ditenungkan,
atau menyihir atau minta disihirkan." (Riwayat Bazzar
dengan sanad yang baik)
Ibnu Mas'ud juga pernah berkata:
"Barangsiapa pergi ke tukang ramal, atau ke
tukang sihir atau ke tukang tenung, kemudian ia bertanya
dan percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka sungguh
dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dan Abu Ya'la dengan
sanad yang baik)
Dan bersabda pula Rasulullah s.a.w.:
"Tidak akan masuk sorga pencandu arak, dan tidak
pula orang yang percaya kepada sihir dan tidak pula orang
yang memutuskan silaturrahmi." (Riwayat Ibnu Hibban)
Haramnya sihir di sini tidak hanya terbatas kepada si
tukang sihirnya saja, bahkan meliputi setiap yang percaya
kepada sihir dan percaya kepada apa yang dikatakan oleh si
tukang sihir itu.
Lebih hebat lagi haram dan kejahatannya apabila sihir itu
dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang haram, seperti
menceraikan antara suami-isteri, mengganggu seseorang dan
sebagainya yang biasa dikenal di kalangan ahli-ahli
sihir.
4.1.6 Bertangkal
Termasuk dalam bab ini ialah masalah bertangkal dan
menggantungkan diri pada kubur dan sebagainya, dengan suatu
anggapan, bahwa tangkal dan kubur ini akan dapat
menyembuhkan penyakit atau dapat melindungi diri dari
mara-bahaya.
Pada abad ke 20 ini masih banyak orang yang
menggantungkan tapal kuda di atas pintu rumahnya. Dan sampai
hari ini di berbagai negara masih banyak orang-orang hendak
memperbodoh orang bodoh. Mereka menulis tangkal-tangkal,
membuat beberapa garis azimat dan membacakan
azimat-azimatnya itu dengan suatu anggapan, bahwa azimatnya
itu dapat melindungi si pembawanya dari gangguan jin,
sengatan kalajengking, kejahatan mata, kedengkian orang dan
sebagainya.
Untuk menjaga keselamatan diri dan mengobati penyakit,
ada cara-caranya sendiri yang sudah dikenal menurut
ketetapan syariat Islam. Islam sangat menentang siapa yang
mengabaikan cara-cara itu, dan siapa yang menggunakan
cara-cara yang dilakukan pendusta-pendusta yang menyesatkan
itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berobatlah kamu, karena sesungguhnya Dzat yang
membuat penyakit, Dia pula yang membuat obatnya."
(Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Kalau ada sesuatu yang lebih baik daripada
obat-obatanmu, maka ketiga hal inilah yang lebih baik,
yaitu: minum madu, atau berbekam, atau kei dengan api."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketiga cara berobat ini jiwanya dan analoginya dapat
meliputi macam-macam cara pengobatan yang berlaku di zaman
kita sekarang, misalnya pengobatan dengan melalui mulut,
operasi, kei dan elektronik.
Adapun menggantungkan tangkal dan membaca mentera untuk
berobat dan menjaga diri, adalah suatu kebodohan dan
kesesatan yang bertentangan dengan sunnatullah dan dapat
menghilangkan tauhid.
Uqbah bin 'Amir meriwayatkan, bahwa ada sepuluh orang
berkendaraan datang ke tempat Rasulullah s.a.w. Yang
sembilan dibai'at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka
yang sembilan itu bertanya: mengapa dia ditahan? Rasulullah
menjawab: karena di lengannya ada tangkal. Kemudian si
laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka dibai'atlah dia
oleh Rasulullah s.a.w. dan ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan (tangkal), maka
sungguh dia telah menyekutukan Allah." (Riwayat Ahmad dan
Hakim; dan lafaz hadis ini adalah lafaz Hakim, dan
rawi-rawi Ahmad adalah kepercayaan)
Dalam hadisnya yang lain ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan tangkal, maka Allah
tidak akan menyempurnakan (imannya), dan barangsiapa
menggantungkan azimat, maka Allah tidak akan
mempercayakan kepadanya." (Riwayat Ahmad, Abu Ya'la dan
Hakim dan ia mensahkan)
"Dari lmran bin Hushain; sesungguhnya Rasulullah
s.a.w. pernah melihat di lengan seorang laki-laki ada
gelang --yang saya lihat sari kuningan-- kemudian
Rasulullah bertanya: "Celaka kamu, apa ini?!" Ia
menjawab: "Ini adalah 'wahinah'" (sesuatu yang dapat
melemahkan orang lain, sebangsa azimat). Maka jawab
Rasulullah: Dia tidak akan menambah kamu, kecuali
kelemahan; karena itu buanglah dia, sebab kalau kamu mati
sedang wahinah itu masih ada pada kamu, maka kamu tidak
akan bahagia selamanya." (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban; dan
Ibnu Majah tapi tanpa kata: buanglah )
Pendidikan ini sangat berpengaruh pada pribadi-pribadi
sahabat Rasulullah s.a.w., sehingga mereka dapat mengangkat
diri mereka tanpa menerima kesesatan dan mempercayai
kebatilan ini.
Isa bin Hamzah berkata: suatu ketika saya pernah masuk
rumah Abdullah bin Hakam sedang waktu itu pada diri Abdullah
ada tanda merah. Kemudian saya bertanya kepadanya: apakah
kamu memakai tangkal? Jawab Abdullah: A'udzu billahi min
dzalik (aku berlindung diri kepada Allah dari yang demikian
itu). Dalam satu riwayat Abdullah mengatakan: Lebih baik aku
mati daripada bertangkal, sebab Rasulullah s.a.w. telah
bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu (tangkal),
maka dia akan dibebaninya." (Riwayat Tarmizi)
Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas'ud
masuk rumah, sedang di leher isterinya ada kalung
(bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas'ud dan
dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah
harus jauh daripada menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan keterangan padanya. Kemudian ia
berkata:
"Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
sesungguhnya tangkal, azimat dan tambul adalah syirik.
Para sahabat kemudian bertanya: Ya aba Abdirrahman!
Tangkal dan azimat ini kami sudah tahu, tetapi apakah
tambul itu? Ia menjawab: tambul ialah sesuatu yang
diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya selalu dapat
bercinta dengan suami-suami mereka." (Riwayat Ibnu Hibban
dan Hakim)
Tambul adalah salah semacam sihir.
Para ulama berkata: tangkal yang dilarang; yaitu yang
bukan bahasa Arab yang tidak dimengerti maksudnya, dan
barangkali juga di situ terdapat sihir dan kata-kata kufur.
Adapun kalimat yang dapat dimengerti dan didalamnya terdapat
penyebutan Allah, maka kalimat semacam itu justru
disunnatkan. Jadi tangkal waktu itu berarti doa dan harapan
kepada Allah untuk kesembuhan dan berobat.
Tangkal yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah
tercampur dengan sihir, syirik dan azimat yang samasekali
tidak mempunyai makna yang dapat dimengerti.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah melarang isterinya
berbuat semacam tangkal jahiliah ini, lantas isterinya
berkata kepadanya: pada suatu hari saya keluar, kemudian si
anu melihat saya maka melelehlah airmataku; tetapi apabila
saya memakai tangkal ini airmataku tidak meleleh, tetapi
kalau kubuang meleleh lagi. Maka berkatalah Ibnu Mas'ud
kepadanya: dia itu adalah syaitan yang apabila kamu taat
kepadanya, kamu akan ditinggalkannya, tetapi jika kamu
durhaka kepadanya, maka ia akan cocok matamu dengan jarinya.
Kalau kamu mau berbuat seperti apa yang dilakukan Nabi,
adalah lebih baik dan lebih dapat diharapkan akan
kesembuhanmu, yaitu: kamu percikkan air pada kedua matamu,
sambil berdoa:
"Hilangkanlah penyakit ini hai Tuhan,
sembuhkanlah aku, karena Engkaulah Dzat yang dapat
menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan
dariMu, suatu kesembuhan yang tidak akan meninggalkan
sakit." (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud dan Hakim)
Tathayyur (Merasa Sial)
Merasa sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan
sebagainya adalah termasuk ramalan yang sangat laku di
pasaran, secara berkelompok atau perorangan.
Di zaman dahulu pernah juga terjadi demikian, misalnya
tentang kaum Nabi Saleh, mereka ini berkata kepadanya:
"Kami merasa sial sebab kamu dan orang-orang
yang bersamamu." (an-Naml: 47)
Fir'aun dan kaumnya apabila ditimpa suatu musibah, mereka
menganggap kesialannya itu karena Musa dan orang-orang yang
bersamanya.
1
Dan banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau
mendapat bala' dari Allah, mereka kemudian berkata kepada
para juru da'wah dan Rasul:
"Kami merasa sial sebab kamu semua." (Yasin:18)
Tetapi para Rasul itu kemudian menjawab:
"Kesialanmu itu sebab kamu sendiri." (Yasin: 19)
Yakni sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri,
yaitu lantaran kamu kufur, ingkar dan memusuhi Allah dan
RasulNya.
Orang-orang Arab jahiliah dalam segi ini mempunyai doa
yang panjang dan bermacam-macam kepercayaan. Sehingga
datanglah Islam kemudian dihapusnya dan mereka dikembalikan
untuk mengikuti jalan fikiran yang lurus.
Rasulullah merangkaikan ramalan dan sihir dalam satu
susunan, seperti sabdanya:
"Bukan dari golongan kami siapa yang merasa
sial, atau minta diramalkan kesialannya, atau menenung,
atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta
disihirkan." (Riwayat Thabarani)
Dan sabdanya pula:
"Membuat garis di tanah, menganggap sial karena
alamat dan melempar kerikil karena ada suatu kepercayaan,
adalah termasuk menyembah selain Allah." (Riwayat Abu
Daud, Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Tathayyur, satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu
pengetahuan atau suatu kenyataan yang benar. Tathayyur,
hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan
yang salah (waham). Kalau tidak demikian, apa artinya
seorang yang berakal percaya mendapat sial karena seseorang,
atau karena tempat, karena dengkurnya suara burung, geraknya
mata atau terdengarnya suatu perkataan?!
Apabila nalurinya manusia itu ada kelemahan, maka akan
mengalir pada dirinya suatu anggapan sial karena sesuatu.
Seharusnya dia tidak mau menerima kelemahan ini. Lebih-lebih
apabila dia sudah sampai pada fase bekerja dan
pelaksanaan.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat
satupun, yaitu: menuduh, tathayyur dan hasud. Oleh karena
itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau
merasa sial jangan surut (jangan kamu gagalkan
pekerjaanmu), dan kalau kamu hasud, jangan lanjutkan."
(Riwayat Thabarani)
Oleh karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan
yang tidak berpengaruh pada suatu sikap dan perbuatan, maka
dimaafkannya oleh Allah.
Dan diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Tathayyur (merasa sial) adalah syirik." 3 kali.
Dan Ibnu Mas'ud sendiri berkata: " ...tetapi Allah akan
menghilangkannya dengan tawakkal." (Riwayat Abu Daud dan
Tarmizi)
Apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas'ud itu, ialah: setiap
orang di antara kita ini ada perasaan-perasaan seperti itu,
tetapi perasaan semacam ini akan hilang lenyap dari hati
orang yang selalu tawakkal dan tidak membiarkan perasaannya
itu tinggal dalam hati.
4.1.8 Memerangi Tradisi
Jahiliah
Sebagaimana Islam memberantas pengikut-pengikutnya yang
mengikuti kepercayaan-kepercayaan jahiliah dan ramalannya,
karena akan berbahaya pada rasio, pekerti dan tingkahlaku,
maka begitu juga Islam akan memerangi tradisi-tradisi
jahiliah yang selalu menghidup-hidupkan ashabiyah,
kecongkakan, kesombongan dan membangga-banggakan
golongan.
4.1.9 Tidak Ada Ashabiyah dalam
Islam
Pertama kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan
ini, yaitu: Islam tidak mengakui ashabiyah dengan segala
macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin menghidup-hidupkan
setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada
ashabiyah.
Rasulullah sendiri telah mengumandangkan pernyataan,
bahwa orang yang berbuat demikian tidak akan diakui sebagai
ummatnya.
Sabda Nabi:
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang
mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami
orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga
termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah."
(Riwayat Abu Daud)
Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena
jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim
merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya melebihi
kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain
dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain.
Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya
karena ta'asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan
dan kecongkakan.
Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada
Rasulullah: "Apakah yang disebut ashabiyah itu?" Maka
jawab Nabi: "Yaitu kamu membela golonganmu pada
kezaliman." (Riwayat Abu Daud)
Dan Allah telah juga berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu
penegak keadilan sebagai saksi karena Allah sekalipun
terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang
tua dan kerabatmu." (an-Nisa': 135)
"Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu
kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil." (al-Maidah:
8)
Rasulullah menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah
sangat popular di kalangan orang jahiliah dan diartikan
menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah saudaramu yang menganiaya ataupun
yang dianiaya."
Setelah Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada
para sahabatnya yang sesudah lebih dahulu meresapkan iman ke
dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan oleh Rasulullah
itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan
tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
"Ya Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara
kami yang dizalimi, tetapi bagaimana kami harus menolong
saudara kami yang berbuat zalim?" Maka jawab Nabi: "Yaitu
kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu
berarti suatu pertolongan buat dia." (Riwayat Bukhari)
Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di
kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan
untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada
golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda
jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh
Rasulullah dan oleh al-Quran.
Islam samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang
di luar kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap
perserikatan yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak pula
mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri
iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang
menentang Islam adalah musuh orang Islam kendati dia
bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan
kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah
berfirman:
"Kamu tidak dapati kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhir itu menaruh cinta kepada orang yang
ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang
ingkar itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau
saudara-saudara mereka atau keluarga mereka."
(al-Mujadalah: 22)
Dan firmanNya pula:
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
jadikan ayah-ayah kamu dan saudara-saudara kamu sebagai
kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur
daripada beriman." (at-Taubah: 23)
Tidak Boleh Ada Pertentangan
Lantaran Nasab dan Warna Kulit
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal
al-Habasyi saling bercaci-maki sampai memuncak kemarahannya.
Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai anaknya
perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada
Nabi. Maka kata Nabi kepada Abu Dzar:
"Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya?
Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi
perasaan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah
berkata kepadanya: 'Lihatlah, sesungguhnya engkau tidak
lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan tidak pula
lebih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kamu
lebihkan dirimu dengan taqwalah.' (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
''Semua kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta
dari tanah." (Riwayat Bazzar)
Dengan demikian, Islam mengharamkan setiap muslim
berjalan mengikuti perasaan jahiliah, dalam persoalan
menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena ayah
dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama
lain: saya anak si anu, saya keturunan anu, sedang engkau
asal dari keturunan anu. Saya berkulit putih sedang engkau
hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang Arab.
Apa nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga
berasal dari satu keturunan? Misalkan nasab itu mempunyai
nilai, tetapi apa kelebihan seseorang atau apa pula dosanya
kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu?
Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi
sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua
adalah anak-cucu Adam ... Tidak ada seorangpun yang
melebihi orang lain, melainkan karena agama dan taqwanya
..." (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Manusia seluruhnya berasal dari Adam dan Hawa.
Sedang Allah tidak menanyaimu tentang keturunanmu dan
nasabmu nanti pada hari kiamat; sesungguhnya
semulia-mulia kamu di hadapan Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu." (Riwayat Ibnu Jarir)
Rasulullah s.a.w. telah menumpahkan kemarahannya kepada
orang-orang yang menyombongkan diri lantaran ayah dan
datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan menggetarkan
hati. Beliau mengatakan:
"Hendaklah orang-orang yang menyombongkan
ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka
yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu
lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang
mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya; Allah telah
menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya
lantaran ayah. Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa,
dan ada juga yang durhaka dan celaka; manusia seluruhnya
anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah." (Riwayat
Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Hadis ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang
yang menganggap besar lantaran nenek-moyangnya dulu adalah
keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian itu
hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah
s.a.w. di atas.
Dalam Haji Wada' yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia
yang ingin mendengarkan tentang Islam di bulan haram dan di
tanah haram, Rasulullah s.a.w. pernah menyampaikan pidatonya
yang dikenal dengan Khuthbatul Wada' (khutbah perpisahan).
Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip,
yang bunyinya sebagai berikut:
"Hai ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu
hanyalah satu. Ingatlah! Tidak ada kelebihan bagi orang
Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi
orang lain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan
orang yang berkulit merah atas orang kulit hitam; dan
tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit merah,
melainkan lantaran taqwa, sebab sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertaqwa
kepada Allah." (Riwayat Baihaqi)
4.1.11 Meratapi Orang yang Sudah
Mati
Di antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu
tradisi jahiliah yang berkenaan dengan masalah kematian,
misalnya: meratap, teriak-teriak dan berlebih-lebihan dalam
melahirkan kesusahan dan kedukaan.
Islam mengajar ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar
pindah dari satu tempat ke tempat lain, bukan musnah
samasekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak
dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat
menolak takdir Allah. Oleh karena itu setiap mu'min harus
menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah,
yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta
mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan
abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna
lillahi wainna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah
milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan kembali).
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah,
adalah mungkar dan haram yang tidak diakui oleh Rasulullah
s.a.w, sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang
menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru
dengan seruan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Tidak halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk
berkabung atau tidak berhias atau mengganti pakaian dan
gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan duka dan
sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya,
dia harus melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh
hari, guna memenuhi hak suami dan demi ikatan suci yang
telah menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia tidak
menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata
orang-orang yang hendak meminangnya selama dalam iddah itu.
Yang oleh Islam dianggap sebagai melanjutkan beberapa hak
suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan sebagai
anyaman atas perkawinan yang lalu.
Tetapi kalau yang mati itu kebetulan bukan suami,
misalnya ayah, anak atau saudara, maka tidak halal seorang
perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah
isteri Nabi s.a.w. ketika ayahnya, Abu Sufyan meninggal
dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti Jahsy ketika
saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi
ini tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia berkata: "Demi
Allah, saya tidak lagi memerlukan uangi-uangian, namun saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tidak halal seorang perempuan yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian,
lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka
harus berkabung empat bulan sepuluh hari." (Riwayat
Bukhari)
Berkabungnya isteri karena meninggalnya suami adalah
wajib yang samasekali tidak boleh diabaikannya, sebab ada
satu riwayat sebagai berikut:
"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi
s.a.w. kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku
ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak
(karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai
celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga
kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak." (Riwayat
Bukhari dari Ummu Habibah)
Ini menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah
ditentukan.
Adapun susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa
teriak-teriak, termasuk masalah fitrah (pembawaan). Oleh
karena itu tidaklah berdosa.
Diriwayatkan, bahwa Umar Ibnul-khattab pernah mendengar
sementara perempuan menangis karena kematian Khalid bin
al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang hendak
melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar
berkata: "Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu
Sulaiman ini (Khalid bin Walid), selama tangisnya itu tidak
menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak
teriak-teriak."
4.2 Bagian Mu'amalah (Hubungan
Pekerjaan)
ALLAH menciptakan manusia dengan suatu sifat saling
membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorangpun
yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi
manusia hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu.
Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang
lain.
Untuk itu Allah memberikan inspirasi (ilham) kepada
mereka untuk mengadakan pertukaran perdagangan dan semua
yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli dan semua cara
perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan
lurus dan irama hidup ini berjalan dengan baik dan
produktif.
Nabi Muhammad s.a.w. diutus, sedang waktu itu bangsa Arab
memiliki aneka macam perdagangan dan pertukaran. Oleh karena
itu sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi,
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat yang dibawanya.
Sedang sebagiannya dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan
tujuan dan jiwa syariat.
Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, di
antaranya:
- Karena ada usaha untuk membantu perbuatan
maksiat.
- Karena ada unsur-unsur penipuan.
- Karena ada unsur-unsur pemaksaan.
- Karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak
yang sedang mengadakan perjanjian, dan sebagainya.
4.2.1 Menjual Sesuatu yang Haram,
Hukumnya Haram
Apapun kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada
perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam. Atau kalau ada
sesuatu yang bermanfaat bagi ummat manusia, tetapi dia itu
satu macam daripada kemaksiatan, maka membeli ataupun
memperdagangkan hukumnya haram misalnya: babi, arak, makanan
dan minuman yang diharamkan secara umum, patung, salib,
lukisan dan sebagainya. Karena memperdagangkan barang-barang
tersebut dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat,
dapat membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan
mendekatkan manusia untuk menjalankan maksiat. Sedang dengan
diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut dapat
melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang
untuk ingat kepada kemaksiatan serta menjauhkan manusia dari
perbuatan maksiat.
Untuk itu, maka Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai
berikut:
"Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah
mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan
patung." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka
Ia haramkan juga harganya." (Riwayat Ahmad dan Abu
Daud)
4.2.2 Menjual Barang yang Masih
Samar, Terlarang
Setiap aqad perdagangan ada lubang yang membawa
pertentangan, apabila barang yang dijual itu tidak diketahui
atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan
pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah
satu ada yang menipu. Justru itu cara ini dilarang oleh
Rasulullah s.a.w, sebagai usaha menutup pintu perbuatan
maksiat (saddud dzara'ik).
Justru itu pula, dilaranglah menjual bibit binatang yang
masih ada di dalam tulang rusuk binatang jantan, atau
menjual anak yang masih dalam kandungan, atau menjual burung
yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam
air dan semua macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur
penipuan.
2
Ini semua justru karena tidak diketahuinya secara pasti
benda yang dijualnya itu.
Di zaman Nabi pernah terjadi beberapa orang menjual
buah-buahan yang masih di pohon dan belum nampak tua.
Sesudah aqad, terjadilah suatu musibah yang tidak
diduga-duga, maka rusaklah buah-buahan tersebut. Akhirnya
terjadilah pertentangan antara si penjual dan si pembeli, Si
penjual mengatakan: saya sudah menjualnya dan sudah ada
persetujuan. Sedang si pembeli mengatakan: kamu menjual
kepadaku buah-buahan tetapi nyatanya kini buah itu tidak
ada, Waktu itulah Nabi kemudian melarang menjual buah-buahan
sehingga jelas sudah masak/tua,
3
kecuali dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika
itu juga.
Beliau melarang juga menjual biji-bijian yang masih dalam
tangkai, kecuali apabila sudah nampak memutih dan selamat
dari musibah.
4
Kemudian beliau bersabda:
"Apakah kamu beranggapan kalau Allah sudah
melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara
kamu menganggap halal untuk makan harta saudaranya?"
(Riwayat Bukhari)
Tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab
sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari
kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah,
tidak mungkin dia dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada
di dalam temboknya itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran
yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat
membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan
harta orang lain dengan cara batil.
Kalau kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah
urfiyah, maka tidaklah haram, misalnya menjual barang-barang
yang berada di dalam tanah, seperti wortel, lobak, brambang
dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya
mentimun, semangka dan sebagainya.
Begitulah menurut madzhab Malik, yang membolehkan menjual
semua yang sangat dibutuhkan yang kiranya kesamarannya itu
tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya
aqad.
5
Mempermainkan Harga
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya
kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan
fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru
itu kita lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya
harga, beliau diminta oleh orang banyak supaya menentukan
harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
"Allahlah yang menentukan harga, yang mencabut,
yang meluaskan dan yang memberi rezeki. Saya mengharap
ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di
antara kamu yang meminta saya supaya berbuat zalim baik
terhadap darah maupun harta benda." (Riwayat Ahmad, Abu
Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu Ya'la)
Rasulullah s.a.w. menegaskan dalam hadis tersebut, bahwa
ikut campur dalam masalah pribadi orang lain tanpa suatu
kepentingan yang mengharuskan, berarti suatu perbuatan
zalim, di mana beliau ingin bertemu Allah dalam keadaan
bersih samasekali dari pengaruh-pengaruh zalim itu.
Akan tetapi jika keadaan pasar itu tidak normal, misalnya
ada penimbunan oleh sementara pedagang, dan adanya permainan
harga oleh para pedagang, maka waktu itu kepentingan umum
harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam
situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi
memenuhi kepentingan masyarakat dan demi menjaga dari
perbuatan kesewenang-wenangan dan demi mengurangi
keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip
hukum.
Dengan demikian, apa yang dimaksud oleh hadis di atas,
bukan berarti mutlak dilarang menetapkan harga, sekalipun
dengan maksud demi menghilangkan bahaya dan menghalang
setiap perbuatan zalim. Bahkan menurut pendapat para ahli,
bahwa menetapkan harga itu ada yang bersifat zalim dan
terlarang, dan ada pula yang bijaksana dan halal.
Oleh karenanya, jika penetapan harga itu mengandung
unsur-unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul; yaitu
dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterima,
atau melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan, maka jelas
penetapan harga semacam itu hukumnya haram.
Tetapi jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan,
misalnya dipaksanya mereka untuk menunaikan kewajiban
membayar harga mitsil dan melarang mereka menambah dari
harga mitsil, maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya
waiib.
Dalam bagian pertama, masuk apa yang disebut oleh hadis
di atas. Jadi kalau orang-orang menjual barang dagangannya
menurut cara yang lazim tanpa ada sikap-sikap zalim dari
mereka, kemudian harga naik, mungkin karena sedikitnya
barang atau karena banyaknya orang yang membutuhkan, sesuai
dengan hukum penawaran dan permintaan, maka naiknya harga
semacam itu kita serahkan kepada Allah. Tetapi kalau
orang-orang dipaksa menjual barangnya dengan harga tertentu,
ini namanya suatu pemaksaan yang tidak dapat dibenarkan.
Adapun dalam bagian kedua, yaitu misalnya si penjual
tidak mau menjual barangnya, padahal sangat dibutuhkan orang
banyak, melainkan dengan tambahan harga yang ditentukan,
maka di sinilah timbulnya suatu keharusan memaksa mereka
untuk menjual barangnya itu dengan harga
mitsil.
6
Pengertian menetapkan harga dalam hal ini hanyalah suatu
pemaksaan untuk menjualnya dengan harga mitsil, dan suatu
penetapan dengan cara yang adil sebagai memenuhi perintah
Allah.
7
4.2.4 Penimbun Dilaknat
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang
dalam menjual, membeli dan yang menjadi keinginan hatinya,
tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois)
yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk
menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya
pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan
rakyat.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan
ungkapan yang sangat keras.
Sabda Rasul:
"Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat
puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu
kepadanya." (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan
Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat
dosa." (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata
yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan oleh al-Quran
untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti
Fir'aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu
mengatakan:
"Sesungguhnya Fir'aun dan Haaman dan bala
tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat salah/dosa."
(al-Qashash: 8)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan
ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
"Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka
menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa;
dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadis
ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang
menimbun dilaknat." (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa
mengambil keuntungan dengan dua macam jalan:
- Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan
harga yang lebih tinggi, di saat orang-orang sedang
mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah
orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar
berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan
melewati batas.
- Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian
dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia
membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh
keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan
beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat
membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapatkan barakah
serta si pemiliknya sendiri --insya Allah-- akan beroleh
rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi
s.a.w.
Di antara hadis-hadis penting yang berkenaan dengan
masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat
Nabi. Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi
oleh Abdullah bin Ziad --salah seorang gubernur dinasti
Umaiyah-- untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya
kepada Ma'qil: Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku
ini seorang yang memeras darah haram? Ia menjawab: Tidak. Ia
bertanya lagi: Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur
dalam masalah harga orang-orang Islam? Ia menjawab: Saya
tidak pernah melihat. Kemudian Ma'qil berkata: Dudukkan aku!
Mereka pun kemudian mendudukkannya, lantas ia berkata:
Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan
kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari
Rasulullah s.a.w., bukan sekali dua kali.
Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga
orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka
keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk
mendudukkan dia itu pada api yang sangat besar nanti di
hari kiamat." Kemudian Abdullah bertanya: "Engkau
benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w.?!"
Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (Riwayat Ahmad
dan Thabarani)
Dari nas-nas hadis tersebut dan mafhumnya, para ulama
beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya
menimbun adalah dengan dua syarat:
- Dilakukan di suatu negara di mana penduduk negara itu
akan menderita sebab adanya penimbunan.
- Dengan maksud untuk menatkkan harga sehingga
orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan
yang berlipat-ganda.
4.2.5 Mencampuri Kebebasan Pasar
dengan Memalsu
Dapat dipersamakan dengan menimbun yang dilarang oleh
Rasulullah s.a.w., yaitu: seorang kota menjualkan barang
milik orang dusun. Bentuknya --sebagai yang dikatakan oleh
para ulama-- adalah sebagai berikut: Ada seorang yang masih
asing di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat
dibutuhkan orang banyak untuk dijual menurut harga yang
lazim pada waktu itu. Kemudian datanglah seorang kota
(penduduk kota tersebut) dan ia berkata: Serahkanlah
barangmu itu kepada saya, biarkan sementara di sini untuk
saya jualkan dengan harga yang tinggi. Padahal seandainya si
orang dusun itu sendiri yang menjualnya, sudah barang tentu
lebih murah dan dapat memberi manfaat pada kedua daerah dan
dia sendiri akan mendapat untung juga.
Bentuk semacam ini, waktu itu sudah biasa terjadi di
masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Anas
r.a.:
"Kami dilarang orang kota menjualkan barang
orang dusun, sekalipun dia itu saudara kandungnya
sendiri." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, mereka bisa belajar: bahwa kemaslahatan
umum harus lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.
Sabda Nabi:
"Tidak boleh orang kota menjualkan untuk orang
dusun; biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki
kepada mereka itu masing-masing." (Riwayat Muslim)
Dari kata-kata Nabi yang singkat biarkanlah manusia,
Allah akan memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing
kita dapat membuat satu rumusan sebagai prinsip yang sangat
penting dalam dunia perdagangan, yaitu: kiranya masalah
pasar, harga dan pertukarannya dibiarkan mengikuti selera
fitrah dan faktor-faktor tabi'i, tanpa dicampuri oleh suatu
pemalsuan dari sementara orang.
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang maksud orang kota tidak
boleh menjualkan untuk orang dusun, kemudian ia berkata:
yaitu orang kota tidak menjadi makelar untuk orang
dusun,
Pengertiannya, kalau orang kota itu menunjukkan harga dan
memberi nasehat serta memberitahukan tentang keadaan pasar,
tanpa ada maksud mencari keuntungan seperti yang biasa
dilakukan oleh makelar-makelar itu, maka hal semacam ini
tidaklah berdosa. Karena dia memberi nasehat demi mencari
keridhaan Allah. Sedang nasehat adalah salah satu bagian
dari agama, bahkan agama itu sendiri seluruhnya adalah
nasehat. Seperti kata Nabi:
"Agama itu adalah nasehat" (Riwayat Muslim)
Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kamu minta
nasehat kepada saudaranya, maka nasehatilah dia."
(Riwayat Ahmad)
Makelar secara umum bermaksud mencari keuntungan, yang
kadang-kadang dia lupa terhadap kepentingan umum.
4.2.6 Makelar Itu Sendiri Hukumnya
Halal
Makelar untuk orang luar daerah tidak berdosa. Sebab
makelar semacam ini salah satu bentuk penunjuk jalan dan
perantara antara penjual dengan pembeli, dan banyak
memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan
antara kedua belah pihak.
Makelar atau katakanlah perantara dalam perdagangan, di
zaman kita ini sangat penting artinya dibandingkan dengan
masa-masa yang telah lalu, karena terikatnya perhubungan
perdagangan antara importer dan produser, antara pedagang
kolektif dan antara pedagang perorangan. Sehingga makelar
dalam hal ini berperanan yang sangat penting sekali.
Tidak ada salahnya kalau makelar itu mendapatkan upah
kontan berupa uang, atau secara prosentase dari keuntungan
atau apa saja yang mereka sepakati bersama.
Al-Bukhari mengatakan dalam kitab Sahihnya: Bahwa Ibnu
Sirin, 'Atha', Ibrahim dan al-Hasan menganggap tidak salah
kalau makelar itu mengambil upah. Dan begitu juga Ibnu
Abbas, ia berkata: Tidak ada salahnya kalau pedagang itu
berkata kepada makelar: 'Juallah bajuku ini dengan harga
sekian. Adapun lebihnya (jika ada untungnya) maka buat
kamu.' Dan Ibnu Sirin juga berkata: Apabila pedagang berkata
kepada makelar: 'Jualkanlah barangku ini dengan harga
sekian, sedang keuntungannya untuk kamu.' Atau ia berkata:
'Keuntungannya bagi dua.', maka hal semacam itu dipandang
tidak berdosa. Sebab Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda
sebagai berikut:
"Orang Islam itu tergantung pada syarat
(perjanjian) mereka sendiri." (Riwayat Ahmad, Abu Daud,
Hakim dan lain-lain)8
Perkosaan dan Penipuan,
Hukumnya Haram
Demi menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang
bersifat penipuan, maka dilarangnya juga oleh Rasulullah apa
yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut
penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu
lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati
kecilmu sendiri, tetapi dengan tujuan supaya orang lain
menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk menipu orang
lain.
Kemudian agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat
pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka Rasulullah
s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke
pasar.
9
Dengan demikian, maka barang sebagai bahan baku
masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras
dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si
pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga
pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu
dilakukan setelah barang sampai di
pasar.
10
4.2.8 Siapa yang Menipu, Bukan dari
Golongan Kami
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam
masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh
urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih
tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli
dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika
mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri
dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam
perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan
menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya
itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu
perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri
perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang
mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya."
(Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang
laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau
sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam
tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak
basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang
mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di
atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa
menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat
Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui
suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya,
kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut,
tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas
Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang
pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab
barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami."
(Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman
dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang
dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya.
Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan
tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia
berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan
kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya
cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang
hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si
pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya
satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa
tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun
berakibat menurunnya harga.
4.2.9 Banyak Sumpah
Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat
dengan sumpah palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang
keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya sumpah
palsu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi
dapat menghapuskan barakah." (Riwayat Bukhari)
Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan,
karena:
- Memungkinkan terjadinya suatu penipuan.
- Menyebabkan hilangnya perasaan membesarkan asma'
Allah dari hatinya.
4.2.10 Mengurangi Takaran dan
Timbangan
Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan
timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai
salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai
salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am,
yaitu:
"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur,
karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang
melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)
"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu
lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka
itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka
memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain
(menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak
mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang
sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan
berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!"
(al-Muthafifin: 1-6)
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat
tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang
sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah
perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
"Kami tidak memberi beban kepada seseorang,
melainkan menurut kemampuannya."
Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang
ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan
menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan
timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya.
Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk
mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan
disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi
Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka
sebagai berikut:
"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang
yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan
lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan
kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara':
181-183)
Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya,
pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan
menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua
timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum;
timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang
disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk
dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi
untuk orang lain dia kuranginya.
4.2.11 Membeli Barang Rampokan dan
Curian sama dengan Perampas dan Pencuri
Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha
untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan
pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang
muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang
tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang
diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab
kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok,
pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan
melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia
mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia
bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang
dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan
syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram
menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur
lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan
ahli-ahli hukum sipil.
4.2.12 Riba adalah Haram
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan
perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan
harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali
dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan
dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi
untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi
untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha
akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka
diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela
orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka
telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah
firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada
Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada
riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak
mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari
Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka
bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh
berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah:
278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba
dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan
betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang
diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu
daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk
mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti
itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang
baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam
agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di
Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu
memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai
penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga
daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam
Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi
seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada
berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah
kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada
Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu
--yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.--
dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas
dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa
boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak
boleh kamu mengambil dia ..."v
Hikmah Diharamkannya
Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba,
semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari
segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang
dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai
berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya
tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham
dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu
dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu
merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang
sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan
kehormatan darahnya."11
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti,
sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari
kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa
dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik
kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan
persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia
tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan
berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran
satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan
dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan,
pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat
diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik
(ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam.
Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa
senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu
dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah
pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan
diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah
perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari
segi ethik).
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya,
sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat
yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang
kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang
yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang
kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu
kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin
tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu
kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang
memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan
pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan
di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si
tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional
dan internasional.
4.2.12.2 Pemberi Riba dan
Penulisnya
Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki
uang dan meminjamkan uangnya itu kepada peminjam dengan
rente yang lebih dari pokok. Orang yang semacam ini tidak
diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat
seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang
masalah haram, tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada
yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa orang yang
memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya
rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang
saksinya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi:
"Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi
makan, dua orang saksinya dan jurutulisnya." (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak
dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam untuk
memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena
kepada si pengambil rente saja.
Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
- Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan
hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa
yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin
dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa
kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan
berobat yang mesti dilakukan.
- Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi
kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang
kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak
halal hutang $10,-.
- Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari
jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan
rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk
inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain
kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia
boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan
dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan
Penyayang.
- Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan
tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan
keluar kepadanya.
4.2.12.3 Rasulullah Selalu Minta
Perlindungan pada Allah dari Berhutang
Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang
hukum agamanya, yaitu agama menyuruh supaya dia berlaku
lurus dan sederhana dalam hidup dan kehidupannya.
Firman Allah:
"Dan jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan."
(al-An'am: 141)
"Jangan kamu boros, karena sesungguhnya orang yang
boros adalah kawan syaitan." (al-Isra': 26-27)
Kalau al-Quran menuntut kepada orang-orang mu'min supaya
menginfaqkan harta kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut
kepada mereka melainkan supaya menginfaqkan sebagian harta,
bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan sebagian
hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,
Dengan kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi
perlu berhutang, lebih-lebih Nabi sendiri tidak suka seorang
muslim membiasakan berhutang. Sebab hutang dalam pandangan
seorang muslim yang baik, adalah merupakan kesusahan di
malam hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu
Nabi selalu minta perlindungan kepada Allah dari berhutang.
Doa Nabi itu sebagai berikut:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari
terlanda hutang dan dalam kekuasaan orang lain."
(RiwayatAbu Daud)
Dan ia bersabda pula:
"Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran
dan hutang. Kemudian ada seorang laki-laki bertanya:
Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya
Rasulullah? Ia menjawab: Ya!" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Dan kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya
ialah:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari
berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa
Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya
Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau
berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila
berjanji menyalahi." (Riwayat Bukhari)
Ia menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya
besar terhadap budipekerti seseorang.
Beliau tidak mau menyembahyangi janazah, apabila
diketahui bahwa waktu meninggalnya itu dia masih mempunyai
tanggungan hutang padahal dia tidak dapat melunasinya,
sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari akibat
hutang. Sehingga apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau
sendiri yang menyelesaikan hutangnya itu.
Dan sabdanya:
"Akan diampuni orang yang mati syahid semua
dosanya melainkan hutang." (Riwayat Muslim)
Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh
berhutang kecuali karena sangat perlu. Dan kalaupun dia
terpaksa harus berhutang, samasekali tidak boleh melepaskan
niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w.
disebutkan:
"Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan
berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan
niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat
akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan
merusakkan dia." (Riwayat Bukhari)
Kalau seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente,
padahal hutang adalah mubah, kecuali karena dharurat, dan
didesak oleh suatu keperluan, maka bagaimana lagi kalau
hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan rente?!
4.2.12.4 Menjual Kredit dengan
Menaikkan Harga
Termasuk yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu
sebagaimana diperkenankan seorang muslim membeli secara
kontan, maka begitu juga dia diperkenankan menangguhkan
pembayarannya itu sampai pada batas tertentu, sesuai dengan
perjanjian.
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dengan tempo, untuk nafkah keluarganya. Begitu
juga beliau pernah menggadaikan baju besinya kepada orang
Yahudi.
12
Sekarang apabila si penjual itu menaikkan harga karena
temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para
pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara fuqaha'
ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga
itu justru berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan
riba.
Tetapi jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya
boleh, dan nas yang mengharamkannya tidak ada; dan tidak
bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena
itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang
pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan
kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas
hukumnya haram.
Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid
bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh
berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah
yang kiranya lebih tepat."
13
4.2.12.5 Salam
Sebalik di atas, yaitu seorang muslim dibenarkan membayar
uang lebih dahulu untuk barang yang akan diterimanya
kemudian.
Cara semacam ini dalam fiqih Islam disebut salam.
lni salah satu macam mu'amalah yang waktu itu biasa
berlaku di Madinah. Akan tetapi Nabi Muhammad s.a.w. ikut
mencampuri persoalan tersebut dengan memberikan beberapa
pedoman dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan tuntunan
syariat Islam.
Ibnu Abbas meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w.
tiba di Madinah, orang-orang pada menjalankan pengikat
untuk. buah-buahan dalam jangka waktu setahun dan dua tahun.
Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa mencengkerami buah-buahan, maka
cengkeramilah dengan suatu takaran tertentu, dan
timbangan tertentu pada batas waktu tertentu." (Riwayat
Jam'ah)
Dengan membatas takaran, timbangan dan jangka waktu ini,
maka akan hilanglah pertentangan dan kesamaran. Tetapi di
samping itu mereka juga mengadakan ikatan untuk jenis buah
korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal itu oleh
Nabi s.a.w. karena terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab
kadang-kadang potion korma itu akan terserang hama sehingga
tidak bisa berbuah.
Jadi bentuk yang paling selamat dan aman dalam mu'amalah
seperti ini, yaitu tidak bersyarat dengan jenis kormanya
atau jenis gandumnya, tetapi yang penting ialah syarat
takaran dan timbangan.
Tetapi kalau di situ terdapat unsur-unsur pemerkosaan
(exploitation) yang terang-terangan oleh pihak pemilik
kebun, sehingga karena didorong oleh keperluan, terpaksa si
pemberi ikatan harus menerima perjanjian tersebut, maka
waktu itu dapat dihukumi haram.
Kerjasama dalam Suatu
Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital
Barangkali akan ada orang bertanya: Bahwa Allah telah
membagi rezeki dan kecakapan pada tiap-tiap manusia menurut
ukurannya masing-masing. Sehingga banyak sekali kita jumpai
di kalangan manusia ada yang mempunyai kecakapan dan
pengetahuan, tetapi mereka tidak mempunyai modal uang.
Sebaliknya tidak sedikit pula kita jumpai orang yang
mempunyai uang banyak, tetapi pengetahuannya sangat minim
atau boleh dikatakan samasekali tidak ada. Tetapi mengapa si
pemilik modal tidak boleh memberikan uangnya itu kepada
orang yang cakap dan berpengalaman, untuk diputar dan
dikembangkan, dengan suatu imbalan keuntungan yang telah
ditentukan. Sehingga dengan demikian yang mempunyai
kecakapan itu bisa mengambil keuntungan uang tersebut, dan
si pemilik uang pun dapat keuntungan dari kecakapan orang
tersebut. Lebih-lebih kalau di situ ada projek besar yang
memerlukan saham dari beberapa orang, sedang banyak di
antara mereka yang memiliki kelebihan uang, padahal mereka
tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan uangnya itu.
Dalam keadaan demikian, mengapa uang yang banyak ini tidak
boleh dipergunakan untuk projek vital yang besar yang
dikembangkan oleh orang-orang yang ahli managemen dan
pengetahuan?
Kami akan menjawab: sesungguhnya Islam tidak
menghalang-halangi kerjasama kapital dan pengetahuan, atau
antara uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkannya oleh
fiqih Islam, tetapi kerjasama ini harus dilandasi dengan
suatu perencanaan yang baik. Kalau si pemilik uang telah
merelakan uangnya itu untuk syirkah dengan orang lain, maka
dia harus berani menanggung segala resiko karena syirkahnya
itu.
Oleh karena itu syariat Islam memberikan syarat dalam
mu'amalah seperti ini yang oleh ahli-ahli fiqih dinamakan
mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modalnya kepada
orang lain), yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam
keuntungan dan kerugian. Prosentase keuntungan dan kerugian
ini menurut persetujuan bersama. Keduanya boleh menentukan
untuk salah satu pihak mendapatkan 1/2, 1/3, 1/4 atau kurang
dari itu atau lebih; sedang sisanya untuk yang lain.
Kalau begitu, maka kerjasama antara modal dan pekerjaan,
adalah kerjasama antara dua orang yang berserikat, yang
masing-masing akan mendapatkan bagiannya, sedikit atau
banyak. Kalau ada untung, maka keuntungannya dibagi menurut
perjanjian yang telah ditentukan bersama. Dan jika rugi,
maka kerugian itu diambilkan dari keuntungan. Dan jika
kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan, bahkan
bertambah, maka diambilkan dari modal, menurut
besar-kecilnya kerugian. Dan kerugian yang diderita oleh
pemilik uang bukan satu hal yang mustahil, sama halnya
dengan kerugian yang dialami oleh kongsinya yang telah
mengeluarkan tenaga dan keringatnya.
Begitulah peraturan Islam dalam persoalan ini. Adapun
menentukan keuntungan kepada pemilik modal, tidak lebih dan
tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda atau kerugian
berlipat, maka cara seperti ini merupakan tikaman terhadap
keadilan dan bisa membawa modal untuk menentang pengetahuan
dan pekerjaan, bertentangan dengan hukum hidup yang memberi
dan menahan dan dapat menggalakkan orang untuk mencintai
pekerjaan tanpa kerja dan tanpa menanggung resiko. Inilah
jiwa riba yang jahat itu.
Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan
tanah dengan cara muzara'ah,
14
yaitu menetapkan hasil dari bagian tanah tertentu, atau
menentukan ukuran tertentu dari luar, misalnya satu kwintal
atau dua kwintal.
Dilarangnya hal tersebut karena ada persamaannya dengan
riba dan spekulasi. Sebab tanah itu kadang-kadang hanya
menghasilkan sebanyak yang ditentukan itu dan kadang-kadang
samasekali tidak menghasilkan. Maka waktu itu berarti di
satu pihak menggaruk hasil dan di lain pihak menderita
kerugian. Cara semacam ini tidak dapat diterima oleh
keadilan.
Larangan muzara'ah ini dinyatakan dengan nas yang tegas.
Dan menurut pendapat saya, ini adalah merupakan masalah
prinsip, karena ijma' ulama yang menyatakan dalam mudharabah
tidak boleh menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu
pihak
15
baik untung maupun rugi. Alasan para ulama tentang tidak
bolehnya mudharabah seperti ini, sama dengan alasannya
tentang tidak bolehnya muzara'ah, yaitu: karena apabila
salah satu pihak menentukan syarat dengan keuntungan
tertentu, padahal mungkin dia tidak akan beruntung kecuali
pas sebanyak persyaratan tersebut, maka waktu itu dia akan
mengambil keuntungannya itu semuanya; dan mungkin juga
samasekali tidak beruntung. Atau kadang-kadang juga mendapat
keuntungan yang besar sekali, maka waktu itu dia cukup
merugikan pemilik uang.
16
Alasan ini sesuai dengan jiwa Islam yang akan membangun
setiap bentuk mu'amalah dengan landasan keadilan yang kukuh
dan terang.
4.2.14 Syirkah antara
Pemilik-Pemilik Modal
Sebagaimana Islam telah membenarkan seorang muslim
menggunakan uangnya secara perorangan dalam usaha-usaha yang
mubah, dan sebagaimana dibolehkannya seorang muslim untuk
menyerahkan modalnya kepada orang yang ahli dengan cara
mudharabah, maka begitu juga Islam memberi perkenan kepada
para pemilik modal untuk mengadakan syirkah dalam suatu
usaha apakah berupa perusahaan atau perdagangan dan
sebagainya. Sebab di antara pekerjaan-pekerjaan dan
projek-projek ada yang sangat membutuhkan banyak fikiran,
tenaga dan modal. Sedang seseorang itu dinilai kecil apabila
sendirian, tetapi dinilai banyak kalau bersama yang
lain.
Untuk ini maka berfirmanlah Allah:
"Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan
tagwa." (al-Maidah: 3)
Semua perbuatan dan sikap hidup yang menguntungkan
seseorang atau masyarakat atau yang kiranya dapat melindungi
seseorang dari marabahaya, dipandang sebagai perbuatan baik
dan taqwa kalau disertai dengan niat yang baik.
Islam tidak hanya sekedar memberikan perkenan syirkah
ini, bahkan akan memberkati pekerjaan tersebut dengan suatu
pertolongan dari Allah di dunia ini dan pahala kelak di
akhirat, selama dalam memutarkan roda pekerjaan ini
mengikuti jalan yang dihalalkan Allah, tidak dengan riba,
ghurur, zalim dan khianat dengan segala macamnya.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w, pernah bersabda sebagai
berikut:
"Tangan Allah bersama dua orang yang berserikat,
selama salah satu pihak tidak, berkhianat kepada yang
lain; apabila salah satu pihak ada yang mengkhianati
kawannya, maka tanganNya itu akan ditarik dari keduanya."
(Riwayat Daraquthni)
Tangan Allah di sini adalah sebagai kata sindiran
(kinayah), yakni pertolongan dan barakah.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
"Saya adalah ketiga dari dua orang yang
bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak
mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati
kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua
itu." (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami'nya menambahkan: (dan akan
datang syaitan).
4.2.15 Asuransi
Di antara bentuk mu'amalah baru, yaitu apa yang disebut
asuransi. Ada yang berhubungan dengan masalah hidup, yang
dinamakan asuransi jiwa dan ada pula asuransi sebagai
jaminan kalau terjadi kecelakaan. Bagaimanakah pandangan
Islam? Dibenarkankah?
Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu
kami ingin menanyakan tentang jiwa daripada perusahaan ini.
Apa jiwanya? Dan bagaimana hubungannya antara yang menjadi
anggota asuransi itu dengan pihak perusahaan? Atau dengan
kata lain: Apakah anggota asuransi itu penuh sebagai anggota
syirkah bagi perusahaan tersebut? Kalau benar demikian,
setiap anggota syirkah (anggota asuransi) harus tunduk
(bersekutu) terhadap keuntungan dan kerugian yang diperoleh
dan diderita oleh perusahaan tersebut, menurut ketentuan
ajaran Islam.
Dalam asuransi kecelakaan yaitu seorang anggota membayar
sejumlah uang (x rupiah misalnya) setiap tahun. Apabila dia
bisa lolos dari kecelakaan, maka uang jaminan itu hilang
(perdagangan, perusahaan, kapal ataupun lainnya), sedang si
pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan
sedikitpun tidak mengembalikan kepada anggota asuransi itu.
Tetapi jika terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan
membayar sejumlah uang yang telah disetujui bersama.
Usaha semacam ini samasekali jauh dari watak perdagangan
dan solidaritas berserikat.
Dalam asuransi jiwa, apabila anggota asuransi itu
membayar sejumlah uang $2,000.00 misalnya pada periode
pertama kemudian mendadak meninggal dunia, maka dia akan
mendapat pengembalian sejumlah uang tersebut dengan penuh,
tidak kurang satu sen pun. Tetapi kalau dia itu bersyirkah
dalam berdagangan, maka dia akan memperoleh kembalian uang
sejumlah uang yang disetor pada periode itu ditambah dengan
keuntungannya.
Kemudian apabila dia berkhianat kepada perusahaan dan
tidak bisa lagi membayar untuk periode-periode berikutnya
sedang dia sudah pernah membayar sebatiagiannya, maka
sejumlah uangnya yang disetor itu atau sebagian besarnya
akan hilang.
Ini paling tidak dapat dikatakan: suatu perjanjian yang
rusak. Dan alasan karena antara kedua belah pihak sudah ada
saling kerelaan dan keduanya sudah saling mengetahui
kemanfaatannya itu tak berbobot. Sebab antara pemakaian riba
dan yang memberinya makan juga sudah ada saling merelakan
begitu juga kedua pemain judi sudah merelakan. Namun tokh
karena kerelaannya itu tidak dianggap sebagai alasan
halalnya perbuatan tersebut, selama mu'amalah ini tidak
menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak
dicampuri tipuan dan kezaliman serta perampasan oleh satu
pihak terhadap pihak lain sedang keadilan dan tidak saling
membahayakan adalah pokok.
4.2.15.1 Apakah Asuransi dapat
Digolongkan Yayasan Dana Bantuan
Apabila kita belum mendapat kejelasan dari segi manapun,
bahwa hubungannya antara anggota asuransi dan perusahaan
sebagai hubungan antara anggota syirkah dengan anggota
lainnya, maka apa watak hubungan antara keduanya itu
sekarang? Apakah hubungan setia kawan? Kalau benar demikian,
maka lembaga ini adalah termasuk lembaga sosial yang
ditegakkan berdasarkan saham dari orang-orang yang ingin
menyumbangkan sejumlah uangnya dengan tujuan saling
mengadakan bantuan satu sama lain. Namun agar di situ
terdapat kerjasama yang baik antara seluruh anggota, guna
memberikan pertolongan kepada pihak-pihak yang sedang
dilanda suatu musibah, maka uang yang dikumpulkan demi
terwujudnya cita-cita yang dimaksud, diperlukan beberapa
persyaratan sebagai berikut:
- Setiap anggota yang menyetorkan uangnya menurut
jumlah yang telah ditentukan, harus disertai niat
membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna
membantu orang yang sangat memerlukan.
- Apabila uang itu akan diputar, maka harus dijalankan
menurut aturan syara'.
- Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil
uangnya dengan tujuan supaya dia mendapat imbalan yang
berlipat apabila terkena suatu musibah. Akan tetapi dia
diberi dari uang jama'ah sebagai ganti atas kerugiannya
itu atau sebagainya menurut izin yang diberikan oleh
jama'ah.
- Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian).
Oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau
terjadi suatu peristiwa, maka harus diselesaikan menurut
aturan syara'.17
Syarat-syarat ini tidak akan berlaku kecuali sebagaimana
yang dilakukan oleh sebagian koperasi dan lembaga-lembaga
sosial yang kini biasa di kalangan kita, yaitu seseorang
membayar tiap bulan dengan niat tabarru' (donatur); dia
tidak boleh menarik kembali uangnya itu, dan tidak
ditentukan jumlah bantuannya jika terjadi suatu musibah.
Adapun asuransi lebih-lebih asuransi jiwa, persyaratan
ini samasekali tidak dapat diterapkan. Sebab:
1. Semua anggota asuransi tidak membayarkan uangnya itu
dengan maksud tabarru', bahkan niat ini sedikitpun tidak
terlintas padanya.
2. Badan asuransi memutar uangnya dengan jalan riba,
sedang setiap muslim tidak dibenarkan bersyirkah dalam
pekerjaan riba. Dan ini justru telah disetujui bersama oleh
orang-orang yang memperketat maupun oleh orang-orang yang
memperingan persoalan ini.
3. Anggota asuransi mengambil dari perusahaan --apabila
telah habis waktu yang ditentukan-- sejumlah uang yang telah
disetor dan sejumlah tambahan, apakah ini bukan berarti
riba?!
Bertentangannya asuransi dengan arti bantuan sosial,
yaitu bahwa asuransi memberi kepada orang kaya lebih banyak
daripada kepada orang yang tidak mampu, sebab orang yang
mampu membayar asuransi sejumlah uang yang lebih banyak,
maka ketika ia mati karena suatu musibah, akan mendapat
bagian yang lebih besar pula. Sedang bantuan sosial, adalah
memberi kepada orang yang tidak mampu lebih banyak daripada
lainnya.
4. Barangsiapa hendak menarik kembali uangnya itu, maka
dia akan dikenakan kerugian yang cukup besar. Sedang
pengurangan ini samasekali tidak dapat dibenarkan dalam
pandangan syariat Islam.
18
4.2.15.2 Sesuaikan dengan
Islam
Asuransi kecelakaan menurut pendapat saya mungkin juga
untuk disesuaikan dengan Islam, yaitu dalam bentuk:
Sumbangan berimbal, misalnya seorang anggota asuransi
membayar uang kepada perusahaan dengan syarat dia akan
diberi imbalan sejumlah uang karena ditimpa suatu musibah,
sebagai bantuan untuk meringankan penderitaannya itu.
Bentuk asuransi seperti ini dibenarkan dalam pandangan
sebagian madzhab Islam.
Jika asuransi dapat disesuaikan seperti tersebut, dan
perusahaan yang menjalankannya itu samasekali bersih dari
perbuatan riba, niscaya dapat dikatakan boleh.
Adapun asuransi jiwa menurut bentuknya yang ada sekarang
seperti tersebut di atas, menurut pendapat saya samasekali
jauh dari tuntunan syariat Islam.
Asuransi Menurut Aturan
Islam
Kalau kita telah mengetahui, bahwa Islam tidak dapat
menerima asuransi model sekarang ini dengan segala
aktivitasnya yang telah berlaku, maka ini bukan berarti
Islam menentang gagasan asuransi itu ansich.
Samasekali tidak demikian! Yang ditentang oleh Islam
ialah beberapa prinsip dan caranya. Adapun jika ada
cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam,
maka sudah pasti Islam akan menyambutnya dengan baik.
Ringkasnya, bahwa aturan Islam telah menjamin ummatnya
dan orang-orang yang berada di bawah naungan pemerintahan
Islam dengan cara-cara tersendiri, dalam seluruh peraturan
dan pengarahannya. Ada kalanya jaminannya itu melalui sikap
solider dari anggota masyarakat itu sendiri, dan ada kalanya
melalui pemerintah dan lembaga baitul-maal.
Baitul-maal adalah asuransi secara umum untuk semua orang
yang bernaung di bawah pemerintahan Islam.
Dalam syariat Islam ada suatu jaminan dan cara-cara
menyalurkannya kepada seseorang yang sedang mendapat
musibah,
Di bab yang terdahulu telah kami sebutkan, bahwa di
antara hal-hal yang membolehkan seseorang meminta, yaitu
apabila dia ditimpa kelaparan. Dia boleh minta kepada
pemerintah (waliyul amri), dan waliyul amri akan memberi
ganti semua yang dideritanya itu atau yang kiranya cukup
untuk meringankan sebagiannya.
Kita dapati juga suatu jaminan untuk ahli waris karena
kematian keluarga, yaitu seperti yang disabdakan Nabi
s.a.w.:
"Saya lebih berhak mengurus setiap muslim
daripada dirinya sendiri; barangsiapa meninggalkan harta,
maka harta itu untuk ahli warisnya, dan barangsiapa
meninggalkan hutang atau kebangkrutan, maka untuk saya
dan menjadi tanggungan saya." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Di antara jaminan Islam terhadap ummatnya, ialah apa yang
disebut bagian khusus untuk orang-orang yang berhutang
(gharimin) dalam pembagian zakat.
Sementara ahli tafsir dari ulama-ulama salaf ada yang
menafsirkan kata gharimin, yaitu: orang yang rumahnya
terbakar, atau hartanya hanyut oleh banjir dan
sebagainya.
Sementara ahli fiqih juga ada yang berpendapat, bahwa
dalam keadaan demikian dia boleh diberi bantuan dari uang
zakat, sebanyak harta yang dideritanya itu, sekalipun
beribu-ribu banyaknya.
4.2.16 Memanfaatkan Tanah
Pertanian
Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia
harus memanfaatkan tanah tersebut dengan bercocoktanam.
Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah
pertanian itu, sebab hal tersebut berarti menghilangkan
nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w.
melarang keras disia-siakannya harta.
"Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang
harta."
Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai
cara.
4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya
Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya
tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih kemudian disiram dan
dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam
ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan
mendapat pahala dari Allah karena tanamannya itu bisa
dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak.
Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam.
Mereka urus sendiri tanah-tanah mereka itu, sebagaimana
telah diterangkan terdahulu.
Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus
sendiri, maka dipinjamkannya tanahnya itu kepada orang lain
yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit ataupun
binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak
mengambil hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh
Islam.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau
berikan kepada kawannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan demikian:
"Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah
dengan mendapatkan sebagai dari hasil (mukhabarah),
kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini.
Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka
tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk
menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad
dan Muslim)
Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf
berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah hanya dapat ditempuh
dengan salah satu dua cara:
- Mungkin ditanaminya sendiri, atau
- Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami
tanpa imbalan suatu apapun. Yakni pengawasan terhadap
tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil
oleh yang mengerjakannya.
Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai
kepada al-Auza'i, bahwa ia berkata: "Atha', Makhul, Mujahid
dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah yang tidak
ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar
dan tidak juga dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh
si pemiliknya sendiri atau diberikannya kepada orang
lain."
Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa
perintah memberi tanah dalam hadis-hadis di atas, bukan
wajib tetapi hanya sunnat belaka.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata:
aku berkata kepada Thawus, salah seorang rekan Ibnu Abbas:
kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka akan
beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus
berkata: orang yang lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah
memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak
melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:
"Sungguh salah seorang di antara kamu akan
memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik daripada
dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan."
(Riwayat Bukhari)
Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah
menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak
menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil
yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau
lebih menurut persetujuan bersama.
Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang
hendak menaminya berupa bibit, alat atau hewan.
Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau
mukhabarah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah
kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya
untuk pemilik tanah.
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di
antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah.
Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan
muzara'ah; dan mereka berkata: "Muzara'ah adalah perkara
yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh
Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian
dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal
dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya.
Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang
tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri
Nabi s.a.w. sepeninggal beliau."
Cara seperti ini tidak boleh dianggap
mansukh.
19
Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup Rasulullah
s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai
beliau meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para
khalifahnya dan mereka pun mengerjakannya, dan tidak
seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin hal
semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa
hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya
sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu
justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang
menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat
masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini,
sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak
menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain?
Muzara'ah yang Tidak
Dibenarkan
Ada suatu bentuk muzara'ah yang sudah biasa berlaku di
zaman Nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena terdapat
unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada
persengketaan; dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang
sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh
lapangan.
Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada
orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan
tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran
ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang
mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah s.a.w. melihat, bahwa apa yang disebut
keadilan, yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil
tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu
pihak mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu
tanah tidak menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu.
Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan
mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita
kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang
ditentukan itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan
demikian dia samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di
lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil
bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan
yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua
belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya
sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan
kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka
kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih
menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata:
"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah
melakukan muzara'ah, kami menyewakan tanah, satu bagian
daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah ... maka
kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah
sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah
yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat,
oleh karenanya kami dilarang. (Riwayat Bukhari)
Di lain riwayat Rafi' bin Khadij berkata:
"Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan
tanah yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan
parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini
rusak dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu
rusak, sedang orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah
kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya."
(Riwayat Muslim)
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat:
"Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu
itu?" Mereka menjawab: "Kami sewakan dia dengan 1/4 dan
beberapa wasag dari korma dan gandum." Maka jawab Nabi,
"Jangan kamu berbuat demikian." (Riwayat Bukhari)
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu
yang mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi
sisanya bersama orang-orang yang menanaminya, untuk ini 1/4
dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat
berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam
masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang menyebabkan
pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat
Islam.
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang
sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian
mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi:
"Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu
menyewakan tanah." (RiwayatAbu Daud)
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus
ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si
pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil
tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan
merugikan pihak pemilik tanah.
Justru itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas, ia mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi s.a.w. tidak mengharamkan
menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan
supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut." (Riwayat
Tarmizi)
Dan justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia
menjawab: Hai Abu Abdirrahman! Kalau kamu tinggalkan
penyewaan tanah (mukhabarah) niscaya mereka akan
beranggapan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarangnya, padahal ia
berkata:
"Bahwa saya akan menolong mereka dan akan
memberi mereka." (Riwayat Ibnu Majah)
Jadi tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan
tanahnya sekalipun di situ ada orang yang sangat ingin untuk
mengerjakannya. Tetapi Nabi akan memberikan pertolongan
kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak
masyarakat Islam.
Kadang-kadang ada juga pemilik tanah yang lebih suka
tanahnya itu dibiarkan gundul, tidak ditanami dan tidak
ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada orang yang
mampu mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan.
Oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz mengutus orang yang
berkepentingan: supaya pemilik tanah itu menyerahkan
tanahnya dengan pembagian 1/4, 1/3, atau 1/5 sampai 1/10 dan
jangan dibiarkan tanah itu dalam keadaan gundul.
Cara keempat, yaitu: menyewakan tanahnya tersebut dengan
uang, misalnya si pemilik tanah menyerahkan tanahnya itu
kepada orang yang sanggup mengurusnya dengan penyewaan
berupa uang dengan jumlah tertentu.
Cara ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang masyhur
dibolehkannya. Tetapi sementara ada yang melarangnya dengan
dalil hadis sahih yang menerangkan, bahwa Nabi s.a.w.
melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian
tertentu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua
orang peserta Perang Badar, Rafi' bin Khadij, Jabir, Abu
Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya meriwayatkan dari
Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua
tanahnya.
20
Dapat dikecualikan dari penyewaan yang bernama kira'
yaitu bentuk muzara'ah, karena tegas Nabi sendiri selalu
melakukannya bersama penduduk Khaibar semasa hidup beliau
dan kemudian dilanjutkannya oleh para Khulafaur
Rasyidin.
Bagi orang yang mau memperhatikan perkembangan
perundang-undangan Islam dalam persoalan ini, kiranya akan
jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam
Muhalla: "Bahwa Rasulullah s.a.w. datang di tengah-tengah
masyarakat yang biasa menyewakan tanah ladangnya
--sebagaimana riwayat Rafi'dan lain-lain-- sedang tanah
ladang tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum
Muhammad diangkat sebagai Rasul dan sesudahnya. Ini suatu
hal yang tidak mungkin dapat diragukan lagi oleh setiap
orang yang berakal. Kemudian tegas riwayat Jabir, Abu Said,
Rafi', peserta Perang Badar dan dua orang peserta Perang
Badar lagi dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah
s.a.w. melarang kira' secara keseluruhannya. Maka perkenan
yang dahulu itu dibatalkan dengan yakin, tidak diragukan
lagi. Oleh karena itu barangsiapa beranggapan, bahwa
mansukhnya perkenan kira' itu telah ditarik kembali, dan
kepastian mansukh itu telah batal, maka dia adalah berdusta
dan mendustakan; berkata sesuatu yang tidak diketahuinya.
Cara semacam ini jelas haram dengan nas al-Ouran, kecuali
apabila dia dapat membawakan dalil, sedang dalil untuk itu
samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan
suatu bagian yang ditentukan dari hasil tanah tersebut
misalnya 1/3 atau 1/4, dan ini tegas dilakukan sendiri oleh
Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah
dilarangnya bertahun-tahun lamanya. Dan penyewaan seperti
ini terus berlangsung sampai beliau
wafat."
21
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama
salaf.
Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang
Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau
perak (uang), tetapi dengan 1/3 atau 1/4.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi
melarang menyewakan tanah, maka Thawus menjawab: "Mu'az bin
Jabal --duta Nabi ke Yaman-- datang kepada kami, kemudian
menyewakan tanah dengan 1/3 dan 1/4 sedang kami
mengetahuinya sampai sekarang ini, yang seolah-olah
menganggap, bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah
penyewaan dengan uang (emas dan perak). Adapun muzara'ah
dipandangnya tidak apa-apa."
Yang berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan
al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar as-Siddiq. Keduanya
berpendapat tidak salah kalau menyerahkan tanahnya kepada
orang lain dengan penyewaan 1/3, 1/4 atau 1/10 nya sedang si
pemilik tanah tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang
melakukan kira'.
Ada pula segolongan tabi'in yang tidak membolehkan
penyewaan tanah secara keseluruhannya, baik dengan uang
ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak diragukan
lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya hal
tersebut dengan fi'liyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan
Mu'az waktu di Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam
bidang pekerjaan yang ditetapkan untuk kaum muslimin pada
mass-masa permulaan.
Adapun larangan menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok
dengan nas dan akal.
4.2.16.3 Qias yang dapat
Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang
Qias yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas
yang sahih menetapkan tidak bolehnya menyewakan tanah gundul
dengan uang, sebagai berikut:
a) Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan
satu bagian tertentu dari hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48
gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang ditentukan untuk si
pemilik tanah.
Rasulullah s.a.w. tidak membenarkan juga penyewaan tanah
dengan bagian hasil (muzara'ah), melainkan dengan bagian
yang masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya. Atau dengan
kata lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan
supaya kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan
apabila tanah tersebut menghasilkan buah dan tidak diserang
hama suatu apapun; dan juga bersama-sama menerima kerugian
apabila tanah tersebut diserang hama.
Adapun menentukan bagian untuk salah satunya, supaya dia
beroleh keuntungan besar dan di lain pihak hanya mendapat
keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya dengan
perbuatan riba dan berjudi.
Kalau kita mau merenungkan masalah penyewaan tanah dengan
uang menurut kacamata ini, maka apakah perbedaannya dengan
penyewaan bagi hasil (muzara'ah) yang dilarangnya?
Sebab pemilik tanah sudah pasti akan menerima bahagiannya
itu berupa uang, sedang pihak penyewa akan mempertaruhkan
tenaga dan kecapaiannya dengan tidak mengetahui apakah akan
beruntung atau rugi? Apakah tanahnya itu dapat menghasilkan
atau tidak?
b) Orang yang menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya
sampai seterusnya. Oleh karena itu dia berhak mendapat upah
atas persediaan yang diberikan kepada pihak penyewa dan
persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai
ganti atas penyusutan yang dialami oleh barangnya itu
sedikit demi sedikit.
Sekarang manakah persediaan yang harus diberikan oleh si
pemilik tanah untuk dipersiapkan buat pihak penyewa? Padahal
Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami,
bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang
dialami oleh tanah karena ditanami, sedang tanah tidak
termakan dan tidak tergerak karena ditanami, seperti halnya
bangunan dan alat?!
c) Seseorang yang menyewa rumah, secara langsung dapat
memanfaatkan rumah itu dengan ditempati, misalnya, tanpa ada
yang menghalangi sedikitpun. Begitu juga orang yang menyewa
alat. Adapun penyewa tanah tidak dapat memanfaatkannya
secara langsung. Ketika dia menyewa tidak sekaligus dapat
memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah, bahkan dia
harus berusaha dan mencurahkan fikiran guna memanfaatkannya,
yang kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh
karena itu setiap qias (analogi) untuk menyamakan persewaan
tanah dengan rumah, adalah suatu qias yang tidak benar.
d) Dalam hadis Bukhari diterangkan, bahwa Rasulullah
s.a.w. melarang menjual buah-buahan yang masih dalam kebun
(baca: pohonnya) sebelum nampak jelas baiknya, padahal waktu
itu sudah diketahui selamat dari hama. Kemudian Rasulullah
s.a.w. dalam memberikan alasan larangannya itu sebagai
berikut:
"Apakah kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah
melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara
kamu itu halal mengambil harta saudaranya?" (Riwayat
Bukhari)
Kalau demikian halnya tentang orang yang menjual
buah-buahan yang sudah nampak baiknya tetapi belum dapat
diyakinkan keselamatannya, yang kadang-kadang diserang oleh
hama yang menghalang kesempurnaan masaknya buah-buahan
tersebut, maka bagaimana halnya orang yang menyerahkan
sebidang tanah gundul yang tidak dapat dipukul dengan kayak
dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam
ini tidak sepatutnya kita ajukan suatu pertanyaan: Apakah
kamu akan beranggapan, jika Allah melarang tentang
buah-buahan, berarti kamu halal mengambil harta
saudaramu?!
Saya pernah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, ada
beberapa kebun kapas yang dimakan ulat, sehingga tinggal
pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi menghasilkan
apa-apa, sedang si pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si
penyewa tidak ada jalan lain hanya menyerah bulat di bawah
kekejaman belenggu yang melilit. Maka di manakah letaknya
tolong-menolong (ta'awun)? Dan di mana letaknya keadilan
yang selalu dicanangkan oleh Islam?
Keadilan tidak akan terwujud, kecuali dengan muzara'ah
(penyewaan bagi hasil menurut prosentase) di mana keuntungan
dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua belah
pihak.
22
Sekalipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan
menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa
muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip
syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal
daripada kira', dan lebih mendekati kepada keadilan dan
pokok ajaran Agama Islam. Sebab dalam Muzara'ah itu kedua
belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, Berbeda
dengan kira', maka pemilik tanah sudah pasti menerima
keuntungan, sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan
kadang-kadang tidak dapat."
23
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim dalam komentarnya terhadap
kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa dan militer
terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: "Kalau
militer dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut
syariat yang telah ditentukan Allah dan RasulNya serta
perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya mereka akan
memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya
Allah akan membukakan pintu-pintu barakahNya dari langit dan
bumi. Namun penghasilan yang berlipat sekarang ini mereka
dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan kekejaman mereka itu tetap
membantahnya, sehingga mereka hanya berbuat kezaliman dan
dosa. Mereka tidak mau menerima barakah dan keluasan rezeki.
Oleh karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa
dan dicabutnya barakah itu di dunia ini."
Kalau ditanyakan: "Bagaimanakah syariat yang telah
ditentukan Allah dan Rasul serta perbuatan para khalifah,
sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh taufik dari
Allah?"
Jawabnya: Penyewaan dengan bagi hasil (mazara'ah) dengan
adil, itulah yang harus lama-lama dilakukan oleh pemilik
tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan untuk satu pihak
terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah.
Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang
menyebabkan hancurnya negara, rusaknya masyarakat,
terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan para
militer dan pembesar berani makan barang haram. Padahal
kalau sesuatu tubuh tumbuh dari barang haram, maka nerakalah
tempatnya.
Muzara'ah yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum
muslimin di zaman Rasulullah. s.a.w., para Khulafaur
Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga Usman,
keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang
menjadi pendirian kebanyakan para sahabat, seperti: Ibnu
Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain lagi.
Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis,
seperti: Imam Ahmad, Ishak bin Rahawih, Muhammad bin Ismail
al-Bukhari, Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah,
Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan
ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam
seperti: Al-Laits bin Sa'ad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf,
Muhammad bin al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah s.a.w. sendiri telah melakukan hal tersebut
dengan penduduk Khaibar, yaitu dengan separuh dari hasil
tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Mu'amalah seperti ini terus berlangsung sampai penduduk
Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar dari Khaibar.
Nabi memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya dan
bibit dari mereka, bukan dari Nabi.
Oleh karena itu pendapat yang paling benar, ialah bahwa
bibit boleh dari pihak penyewa, sebagaimana nas hadis, dan
boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar
Ibnul-Khattab menyewakan tanah dengan perjanjian bibit dari
Umar dan dia akan mendapat lebih dari separuh. Kalau bibit
dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh
juga.
24
Seluruh riwayat yang menerangkan tentang muzara'ah,
sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa tanah kurang
dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian
penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para khalifahnya
bersama orang-orang Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi
daripada bagian penyewa.
Syirkah dalam Memelihara
Binatang
Ada satu macam mu'amalah yang berlaku di negeri kita ini
(Arab), khususnya di desa-desa, yaitu apa yang disebut
syirkah dalam memelihara hewan dan binatang ternak. Salah
satu pihak membayar semua harga atau sebagiannya, sedang di
pihak lain memelihara. Sesudah itu antara kedua belah pihak
membagi hasil dan keuntungannya.
Supaya jelas, maka kami akan menjelaskan beberapa macam
bentuk syirkah ini, yaitu sebagai berikut:
BENTUK PERTAMA: Syirkah semata-mata untuk tujuan dagang.
Misalnya syirkah dalam memelihara anak lembu supaya gemuk,
atau memelihara sapi dan kerbau untuk menghasilkan susu.
Yang harus dipenuhinya dalam hal ini, ialah pihak pertama
harus membayar harga lembu, sedang pihak kedua
memeliharanya. Sedang pembiayaannya, seperti: makannya dan
minumnya, dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak
saja. Dan kalau dijual, nafkahnya itu dipisahkan dari harga
penjualan, sedang sisanya dari keuntungan dibagi menurut
perjanjian.
Tidak adil kalau satu pihak dibebani nafkah, padahal dia
tidak diberi imbalan, sedang keuntungannya dibagi dua. Ini
kiranya cukup jelas.
BENTUK KEDUA: Syirkah antara pihak pertama yang membayar
harga binatang dengan pihak lain yang memberi nafkah dan
memelihara, dengan imbalan dia dapat memanfaatkan air
susunya atau dipergunakan membajak, menarik air dan
menanam.
Cara ini tidak apa-apa dan dapat dipandang baik apabila
hewannya itu besar dan jelas dapat dimanfaatkan, baik air
susunya ataupun tenaganya.
Betul nafkah yang dikeluarkan oleh pihak kedua dan
kemudian dapat memanfaatkannya, itu tidak dapat diketahui
keadilannya dan tidak ada persesuaiannya dibanding dengan
pihak kedua, bahkan di dalamnya terdapat unsur kesamaran.
Akan tetapi kami menganggap baik hal tersebut, dan
kesamaran-kesamaran sedikit tidak kami anggap, sebab ada
dalil yang hampir ada persamaannya dengan itu dalam syariat
Islam, yaitu tentang masalah gadai, apabila barang yang
digadaikan itu berupa hewan yang mungkin dikendarai atau
diambil air susunya.
Dalam hadis yang sahih itu Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Punggung binatang itu boleh dinaiki karena
nafkahnya apabila binatang tersebut tergadaikan; dan air
susu unta dapat diminum karena nafkahnya apabila binatang
tersebut digadaikan. Sedang kewajiban yang menaiki dan
meminum air susunya ialah memberi nafkah." (Riwayat
Bukhari dari jalan Abu Hurairah)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. menetapkan: karena
nafkah, maka imbalannya ialah menaiki, apabila punggung
binatang tersebut memungkinkan untuk dinaiki. Atau
imbalannya itu air susunya, apabila binatang tersebut
mempunyai air susu yang dapat diperah.
Apabila dalam masalah gadai ini dibolehkan, demi
kepentingan kerjasama dan memperkuat hubungan antara seorang
dengan yang lain, padahal nilai nafkah kadang-kadang lebih
banyak dan kadang-kadang lebih sedikit kalau dibandingkan
dengan nilai menaiki atau memerah air susunya, maka tidak
salah, kalau kami membolehkan yang seperti itu dalam hal
syirkah binatang seperti yang kami sebutkan di atas, demi
memenuhi kebutuhan orang banyak juga.
Apa yang kami istimbatkan dari hadis ini seperti
tersebut, adalah semata-mata pendapat kami. Semoga benar
juga!
Adapun syirkah dalam hal anak lembu yang belum dapat
diambil manfaatnya, baik tenaga maupun air susunya, atas
dasar harga dari satu pihak sedang nafkahnya dari pihak
lain, maka menurut kaidah Islam tidak dibenarkan. Sebab
pihak yang mengeluarkan nafkah akan menderita kerugian
sendirian, tanpa ada imbalan baik tenaga ataupun air
susunya. Sedang di pihak lain dapat mengambil keuntungan
atas biaya pihak ke satu.
Ini, samasekali tidak mencerminkan keadilan yang selalu
ditekankan oleh Islam dalam seluruh macam mu'amalah.
Tetapi kalau dimungkinkan kedua belah pihak dapat membagi
masalah nafkahnya sehingga tibalah saatnya binatang tersebut
dapat dimanfaatkan, maka hal ini boleh saja, menurut
pendapat kami.
4.3 Tentang Hiburan
ISLAM adalah agama realis, tidak tenggelam dalam dunia
khayal dan lamunan. Tetapi Islam berjalan bersama manusia di
atas dunia realita dan alam kenyataan.
Islam tidak memperlakukan manusia sebagai Malaikat yang
bersayap dua, tiga dan empat. Tetapi Islam memperlakukan
manusia sebagai manusia yang suka makan dan berjalan di
pasar-pasar.
Justru itu Islam tidak mengharuskan manusia supaya dalam
seluruh percakapannya itu berupa zikir, diamnya itu berarti
berfikir, seluruh pendengarannya hanya kepada al-Quran dan
seluruh senggangnya harus di masjid.
Islam mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk
yang dicipta Allah, di mana Allah membuat mereka sebagai
makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang, ketawa dan
bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan
minum.
4.3.1 Sekedarnya Saja
Meningkatnya rohani sebagian para sahabat, telah mencapai
puncak di mana mereka beranggapan, bahwa kesungguhan yang
membulat dan ketekunan beribadah, haruslah menjadi adat
kebiasaannya sehingga mereka harus memalingkan dari
kenikmatan hidup dan keindahan dunia, tidak bergembira dan
tidak bermain-main. Bahkan seluruh pandangannya dan
fikirannya hanya tertuju kepada akhirat melulu dengan
seluruh isinya, serta jauh dari dunia dengan
keindahannya.
Marilah kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia,
namanya Handhalah al-Asidi, dia termasuk salah seorang
penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya kepada kita
sebagai berikut. Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian
terjadilah suatu dialog:
- Abubakar: Apa kabar, ya Handhalah?
- Aku: Handhalah berbuat nifaq!
- Abubakar: Subhanallah, apa katamu?
- Aku: Bagaimana tidak! Aku selalu bersama Rasulullah
s.a.w., ia menuturkan kepadaku tentang Neraka dan Sorga
yang seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat dengan
mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat
Rasulullah s.a.w., kemudian saya bermain-main dengan
isteri dan anak-anak saya dan bergelimang dalam
pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu!
- Abubakar: Demi Allah, saya juga berbuat
demikian!
- Aku: Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat
Rasulullah s.a.w.
- Kepadanya, saya katakan: Handhalah nifaq, ya
Rasulullah!
- Rasulullah: Apa!?
- Aku: Ya Rasulullah! Begini ceritanya: saya selalu
bersamamu. Engkau ceritakan kepada saya tentang Neraka
dan Sorga, sehingga seolah-olah saya dapat melihat dengan
mata-kepala. Tetapi apabila saya sudah keluar dari
sisimu, saya bertemu dengan isteri dan anak-anak serta
sibuk dalam pekerjaan, saya banyak lupa!
Kemudian Rasulullah s.a.w, bersabda:
"Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya!
Sesungguhnya andaikata kamu disiplin terhadap apa yang
pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun
dalam zikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat
tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Handhalah,
saa'atan, saa'atan! (berguraulah sekedarnya saja!).
Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali." (Riwayat
Muslim)
4.3.2 Rasulullah s.a.w. adalah
Manusia
Kehidupan Rasulullah s.a.w. merupakan contoh yang baik
bagi manusia. Dalam khulwatnya ia melakukan sembahyang
dengan khusyu', menangis dan lama berdiri sehingga kedua
kakinya bengkak. Dalam masalah kebenaran ia tidak
mempedulikan seseorang, demi mencari keridhaan Allah. Tetapi
dalam kehidupannya dan perhubungannya dengan orang lain, dia
adalah manusia biasa yang sangat cinta kepada kebaikan,
wajahnya berseri-seri dan tersenyum, bergembira dan
bermain-main, dan tidak mau berkata kecuali yang hak.
Ia sangat cinta kepada kegembiraan dan apa saja yang
dapat membawa kepada kegembiraan itu. Ia tidak suka susah
dan apa saja yang membawa kesusahan, seperti berhutang dan
hal-hal yang menyebabkan orang bisa payah; dan selalu minta
perlindungan kepada Allah dari perbuatan yang tidak
baik.
Dalam doanya itu ia mengatakan:
"Ya Tuhanku! Sesungyuhnya aku minta perlindungan
kepadaMu dari duka dan susah." (Riwayat Abu Daud)
Dalam salah satu riwayat diceriterakan tentang
berguraunya dengan seorang perempuan tua, yaitu: ada seorang
tua masuk rumah Nabi minta agar Nabi mendoakannya supaya ia
masuk sorga. Maka jawab Nabi: "Sorga tidak dapat menerima
orang tua!!!"
Mendengar jawaban itu si perempuan tua tersebut menangis
tersedu-sedu karena beranggapan, bahwa ia tidak akan masuk
sorga.
Setelah Rasulullah s.a.w. melihat keadaan si perempuan
tersebut, kemudian ia menerangkan maksud dari omongannya
itu, yaitu: "Bahwa seorang tua tidak akan masuk sorga dengan
keadaan tua bangka, bahkan akan dirubah bentuknya oleh Allah
dalam bentuk lain, sehingga dia akan masuk sorga dalam
keadaan masih muda belia. Kemudian ia membacakan ayat:
"Sesungguhnya Kami ciptakan mereka itu dalam ciptaan yang
lain, maka kami jadikan mereka itu perawan-perawan, yang
menyenangkan dan sebaya."
25
(al-Waqi'ah: 35-37)
4.3.3 Hati Itu Bisa Bosan
Begitu juga para sahabatnya yang baik-baik itu, mereka
biasa bergurau, ketawa, bermain-main dan berkata yang
ganjil-ganjil, karena mereka mengetahui akan kebutuhan
jiwanya dan ingin memenuhi panggilan fitrah serta hendak
memberikan hak hati untuk beristirahat dan bergembira, agar
dapat melangsungkan perjalanannya dalam menyusuri
aktivitasnya. Sebab aktivitas hidupnya itu masih
panjang.
Ali bin Abu Talib pernah berkata: "Sesungguhnya hati itu
bisa bosan seperti badan. Oleh karena itu carilah segi-segi
kebijaksanaan demi kepentingan hati."
Dan katanya pula: "Istirahatkanlah hatimu sekedarnya,
sebab hati itu apabila tidak suka, bisa buta."
Abu Darda' pun berkata juga: "Sungguh hatiku akan kuisi
dengan sesuatu yang kosong, supaya lebih dapat membantu
untuk menegakkan yang hak."
Oleh karena itu, tidak salah kalau seorang muslim
bergurau dan bermain-main yang kiranya dapat melapangkan
hati. Tidak juga salah kalau seorang muslim menghibur
dirinya dan rekan-rekannya dengan suatu hiburan yang mubah,
dengan syarat kiranya hiburannya itu tidak menjadi kebiasaan
dan perangai dalam seluruh waktunya, yaitu setiap pagi dan
petang selalu dipenuhi dengan hiburan, sehingga dapat
melupakan kewajiban dan melemahkan aktivitasnya. Maka
tepatlah pepatah yang mengatakan: "Campurlah pembicaraan itu
dengan sedikit bermain-main, seperti makanan yang dicampur
dengan sedikit garam."
Dalam bermain-main itu, seorang muslim tidak
diperkenankan menjadikan harga diri dan identitas seseorang
sebagai sasaran permainannya. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satu
kaum merendahkan kaum lain sebab barangkali mereka (yang
direndahkan itu) lebih baik dari mereka (yang
merendahkan)." (al-Hujurat: 11)
Tidak juga diperkenankan dalam berguraunya itu untuk
ditertawakan orang lain, dengan menjadikan kedustaan sebagai
wasilah. Sebab Rasulullah telah memperingatkan dengan
sabdanya sebagai berikut:
"Celakalah orang yang beromong suatu omongan
supaya ditertawakan orang lain, kemudian dia berdusta.
Celakalah dia! Celakalah dia!" (Riwayat Tarmizi)