Sabtu, 25 Agustus 2012

POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM

PERSOALAN halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.
Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.
Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan Allah kepada hambaNya.
Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.
Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.
Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.
"Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. " (al-An'am : 137)
Para sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam mengganggu kaum bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:
  • takut miskin.
  • takut tercela, kalau anak yang lahir itu wanita.
  • demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu dengan mengorbankan anak.
Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hidup-hidup, tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang baik-baik.
Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:
"Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat." (al-An'am: 138)
Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran mengatakan:
"Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan." (al-An'am: 140)
Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.
Oleh karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah (ummatan wasathan) di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri sebagaimana telah ditegaskan sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan ummat Islam ini sebagai ummat pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan ke hadapan ummat manusia.1

Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah

DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (al-Jatsiyah: 13)
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak." (Luqman: 20)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.2 (Riwayat Hakim dan Bazzar)
"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)
Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.
Dan sabda beliau juga,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:
"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
  1. Hanya Allah lah yang disembah.
  2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu sendiri."
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (as-Syura: 21)
Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:
"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (Yunus: 59)
Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.3
Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
"Kami pernah melakukan 'azl'4, sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."
Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah."

Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak Allah

DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".
Firman Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as-Syura: 21)
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:
"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (at-Taubah: 31)
'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.:
"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)
"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."
Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."
Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:
"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)
Dan firman Allah juga:
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:
"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.
Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."
Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."6
Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.
Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.

Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am: 143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88)

Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:
"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)
Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
"Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)
Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.
Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:
"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)
Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:
  1. Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.
  2. Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.
  3. Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.
  4. Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.
Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)
Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:
"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)
Dan firmanNya pula:
"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)
Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).
Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.
Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun).
Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:
"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia.
Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

SALAH satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk kepentingan ummat manusia, ialah "Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu." Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul Qayim dalam A'lamul Muwaqqi'in 2: 111 dan Raudhatul Muhibbin halaman 10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam,8 tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik (thayyibat).
Begitulah, kalau kita ikuti dengan saksama seluruh hukum Islam ini, maka akan kita jumpai di situ, bahwa Allah s.w.t. tidak memberikan suatu kesempitan (baca haram) kepada hambanya, melainkan di situ juga dibuka suatu keleluasaan di segi lain. Karena Allah samasekali tidak menginginkan untuk mempersukar hambaNya dan membuat takut. Bahkan Ia berkehendak untuk memberikan kemudahan dan kebaikan serta betas-kasih kepada hambaNya. Sebagaimana difirmankan sendiri oleh Allah dalam al-Quran:
"Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah) yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta dengan keadaan yang lemah." (an-Nisa': 26-27)

1.6 Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

SALAH satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.
Oleh karena itu, kalau Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.
Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.
Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah s.a.w. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan seterusnya. Nanti insya Allah akan kami sebutkan.
Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.
Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.

Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

SEBAGAIMANA Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan semua siasat (kebijakan) untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak begitu jelas dan siasat syaitan (yakni yang tidak nampak).
Rasulullah pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu kebijakan untuk menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram).
Maka sabda Rasulullah s.a.w.:
"Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil."9
Salah satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah parit pada hari Jum'at supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam parit tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad.
Cara seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu perbuatan haram, karena motifnya justeru untuk berburu baik dengan jalan bersiasat maupun cara langsung.
Termasuk bersiasat (helah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan merubah bentuk. padahal intinya itu juga. Sebab suatu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa sedikitpun tidak, berarti untuk merubah hukum hanya cukup dengan merubah nama, sedang bendanya itu-itu juga; atau dengan merubah bentuk, padahal hakikat bendanya itu-itu juga.
Oleh karena itu pula, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar siasat supaya dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat supaya dapat minum arak, maka dosa riba dan arak tidak dapat hilang.
Untuk itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan:
"Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain."10 (Riwayat Ahmad)
"Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan nama jual-beli."11
Adalah salah satu keganjilan di zaman kita sekarang ini banyak orang menamakan tarian porno dengan nama seni tari, arak dinamakan minuman rohani dan riba dinamakan keuntungan dan sebagainya.


Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram

ISLAM memberikan penghargaan terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus, baik dalam perundang-undangannya maupun dalam seluruh pengarahannya. Untuk itulah maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya." (Riwayat Bukhari)
Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan minumnya itu dapat dinilai sebagai amal ibadah dan qurbah.
Begitu juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada isterinya dengan niat untuk mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan maksiat, maka pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai ibadah yang berhak mendapat pahala. Untuk itu pula, maka Rasulullah s.a.w. pernah menyabdakan:
"Pada kemaluanmu itu ada sadaqah. Para sahabat kemudian bertanya: Apakah kalau kita melepaskan syahwat juga mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Apakah kalau dia lepaskan pada yang haram, dia juga akan beroleh dosa? Maka begitu jugalah halnya kalau dia lepaskan pada yang halal, dia pun akan beroleh pahala." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam satu riwayat dikatakan:
"Barangsiapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama." (Riwayat Thabarani)
Begitulah, setiap perbuatan mubah yang dikerjakan oleh seorang mu'min, di dalamnya terdapat unsur niat yang dapat mengalihkan perbuatan tersebut kepada ibadah.
Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Oleh karena itu, barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya, sehingga dengan demikian dosa haramnya itu dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak dapat dipengaruhi oleh tujuan dan niat.
Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana disabdakan:
"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu'min seperti halnya perintah kepada para Rasul."
Kemudian Rasulullah membacakan ayat:
"Hai para Rasul! Makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa saja yang kamu perbuat." (al-Mu'minun: 51)
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari barang-barang baik yang telah Kami berikan kepadamu." (al-Baqarah: 172)
"Kemudian ada seorang laki-laki yang datanq dari tempat yang jauh, rambutnya tidak terurus penuh dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: yaa rab, yaa rab (hai Tuhanku, hai Tuhanku), padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan barang yang haram pula, maka bagaimana mungkin doanya itu dikabulkan?" (Riwayat Muslim dan Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, samasekali dia tidak akan beroleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia " (Riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dan sabdanya pula:
"Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga mendapat barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan." (Riwayat Ahmad dan lain-lain)


Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

SALAH satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.
FirmanNya:
"Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.
Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram. Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.
Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara' (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:
"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

1.9 Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

SALAH satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.
FirmanNya:
"Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.
Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram. Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.
Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara' (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:
"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

Keadaan Terpaksa Membolehkan Yang Terlarang

ISLAM mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram; dan apa yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga; dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan prinsip-prinsipnya di atas.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)
Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram.
Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: "Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang."
Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan kata-kata ghaira baghin wala 'aadin (tidak sengaj 3 dan tidak melewati batas).
Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya: tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu: adh-dharuratu tuqaddaru biqadriha (dharurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau mempermudah dharurat.
Islam dengan memberikan perkenan untuk melakukan larangan ketika dharurat itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu dan kaidah-kaidahnya yang bersifat kulli (integral). Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan memperingan, seperti cara yang dilakukan oleh ummatummat dahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firmanNya:
"Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia tidak menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu." (al-Baqarah: 185)
"Allah tidak menghendaki untuk memberikan kamu sesuatu beban yang berat, tetapi ia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya kepadamu supaya kamu berterimakasih." (al-Maidah: 6)
"Allah berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, karena manusia itu dijadikan serba lemah." (an-Nisa': 28)

Catatan kaki Bab Pertama

  1. Ali-Imran.
  2. Maryam.
  3. Qawaidun Nuraniyah al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113.
  4. 'Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.
  5. Al-Um 7:317.
  6. Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath'i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
  7. Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini "haram" yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
  8. Tiga batang kayu untuk dipakai mengetahui nasib, dengan jalan mengundinya. Tiga batang kayu itu masing-masing diberi tanda (1) tertulis "aku diperintah Tuhan", (2) tertulis "aku dilarang Tuhan", (3) kosong, (Lihat Tafsir al-Maraghi ayat 3 al-Maidah).
  9. Ighatsatul Lahfan 1: 348.
  10. Tersebut dalam Ighatsatul Lahfan juz 1: 348. Pengarang kitab ini berkata, bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Abdillah bin Bath-thah dengan sanad yang baik. Dan yang sama disahkan juga oleh Tarmizi.
  11. Hadis ini dipetik dari kitab Ighatsatul Lahfan halaman 352 juz 1 oleh Ibnul Qayim.








 

KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH, HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT

4.1 Masalah Kepercayaan dan Tradisi

KEPERCAYAAN yang baik, landasan pokok bagi masyarakat Islam. Tauhid inti daripada kepercayaan tersebut dan jiwa daripada Islam secara keseluruhannya. Oleh karena itu melindungi kepercayaan dan tauhid, adalah pertama-tama yang dilakukan oleh Islam dalam perundang-undangan maupun da'wahnya.
Begitu juga memberantas kepercayaan jahiliah yang dikumandangkan oleh polytheisme yang sesat itu, suatu perintah yang harus dikerjakan demi membersihkan masyarakat Islam dari noda-noda syirik dan sisa-sisa kesesatan.

4.1.1 Nilai Sunnatullah dalam Alam Semesta

Pertama kali aqidah yang ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya, yaitu: bahwa alam semesta yang didiami manusia di permukaan bumi dan di bawah kolong langit tidak berjalan tanpa aturan dan tanpa bimbingan, dan tidak juga berjalan mengikuti kehendak hawa nafsu seseorang. Sebab hawa nafsu manusia, karena kebutaan dan kesesatannya, selalu bertentangan.
Firman Allah:
"Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya akan rusaklah langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya." (al-Mu'minun: 71)
Namun perlu dimaklumi, bahwa alam ini dikendalikan dengan undang-undang dan hukum yang tetap, tidak pernah berubah dan berganti, sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Quran dalam beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
"Kamu tidak akan menjumpai sunnatullah itu berganti." (Fathir: 43)
Kaum muslimin telah belajar dari kitabullah dan sunnah Rasul supaya menjunjung tinggi sunnatullah yang berbentuk alam semesta ini dan mencari musabab yang diperoleh dari sebab-sebab yang telah diikatnya oleh Allah, serta supaya mereka menolak apa yang dikatakan sebab yang sekedar dugaan semata yang biasa dilakukan oleh para biksu, ahli-ahli khurafat dan pedagang agama.

4.1.2 Memberantas Ramalan dan Khurafat

Nabi Muhammad s.a.w. datang dan dijumpainya di tengah-tengah masyarakat ada sekelompok manusia tukang dusta yang disebut kuhhan (dukun) dan arraf (tukang ramal). Mereka mengaku dapat mengetahui perkara-perkara ghaib baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang, dengan jalan mengadakan hubungan dengan jin dan sebagainya.
Justru itu Rasulullah s.a.w. kemudian memproklamirkan perang dengan kedustaan yang tidak berlandaskan ilmu, petunjuk maupun dalil syara'.
Rasulullah membacakan kepada mereka wahyu Allah yang berbunyi:
"Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi melainkan Allah semesta." (an-Naml: 65)
Bukan Malaikat, bukan jin dan bukan manusia yang mengetahui perkara-perkara ghaib.
Rasulullah juga menegaskan tentang dirinya dengan perintah Allah s.w.t. sebagai berikut:
"Kalau saya dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya saya dapat memperoleh kekayaan yang banyak dan saya tidak akan ditimpa suatu musibah; tidak lain saya hanyalah seorang (Nabi) yang membawa khabar duka dan membawa khabar gembira untuk kaum yang mau beriman." (al-A'raf: 188)
Allah memberitakan tentang jinnya Nabi Sulaiman sebagai berikut:
"Sungguh andaikata mereka (jin) itu dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya mereka tidak kekal dalam siksaan yang hina." (Saba': 14)
Oleh karena itu, barangsiapa mengaku dapat mengetahui perkara ghaib yang sebenarnya, berarti dia mendustakan Allah, mendustakan kenyataan dan mendustakan manusia banyak.
Sebagian utusan pernah datang ke tempat Nabi, mereka menganggap bahwa Nabi adalah salah seorang yang mengaku dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka menyembunyikan sesuatu di tangannya dan berkata kepada Nabi: Tahukah tuan apakah ini? Maka Nabi menjawab dengan tegas:
"Aku bukan seorang tukang tenung, sebab sesungguhnya tukang tenung dan pekerjaan tenung serta seluruh tukang tenung di neraka."

4.1.3 Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur

Islam tidak membatasi dosa hanya kepada tukang tenung dan pendusta saja, tetapi seluruh orang yang datang dan bertanya serta membenarkan ramalan dan kesesatan mereka itu akan bersekutu dalam dosa. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
"Barangsiapa datang ke tempat juru ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan apa yang dikatakan, maka sembahyangnya tidak akan diterima selama 40 hari." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa datang ke tempat tukang tenung, kemudian mempercayai apa yang dikatakan, maka sungguh dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik dan kuat)
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu mengatakan, bahwa hanya Allahlah yang mengetahui perkara ghaib, sedang Muhammad sendiri tidak mengetahuinya, apalagi orang lain.
Firman Allah:
"Katakanlah! Saya tidak berkata kepadamu, bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah, dan saya tidak dapat mengetahui perkara ghaib, dan saya tidak berkata kepadamu bahwa saya adalah malaikat, tetapi saya hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku." (al-An'am: 50)
Kalau seorang muslim telah mengetahui persoalan ini dari al-Quran yang telah menyatakan begitu jelas, kemudian dia percaya, bahwa sementara manusia ada yang dapat menyingkap tabir qadar, dan mengetahui seluruh rahasia yang tersembunyi, maka berarti telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

4.1.4 Mengadu Nasib dengan Azlam

Justru hikmah yang telah kami sebutkan di atas, maka Islam mengharamkan mengadu nasib dengan azlam.
Azlam disebut juga qadah, yaitu semacam anak panah yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab jahiliah, sebanyak tiga buah:
Pertama, tertulis: aku diperintah Tuhan.
Kedua, tertulis: aku dilarang Tuhan.
Ketiga, kosong.
Kalau mereka bermaksud akan bepergian atau kawin dan sebagainya mereka pergi ke tempat berhala yang di situ ada azlam, kemudian mereka mencari untuk mengetahui apa yang akan diberikan kepada mereka itu dalam hal bepergian, peperangan dan sebagainya dengan jalan mengundi tiga batang anak panah tersebut. Kalau yang keluar itu anak panah yang tertulis aku diperintah Tuhan, maka dia laksanakan kehendaknya itu. Dan jika yang keluar itu anak panah yang tertulis aku dilarang Tuhan, maka mereka bekukan rencananya itu. Tetapi kalau yang keluar anak panah yang kosong, maka mereka ulangi beberapa kali, sehingga keluarlah anak panah yang memerintah atau yang melarang.
Yang sama dengan ini, yaitu apa yang kini berlaku di masyarakat kita, seperti bertenung dengan menggaris-garis di tanah, pergi ke kubur, membuka Quran, membaca piring dan sebagainya. Semua ini perbuatan mungkar yang oleh Islam diharamkan.
Setelah menyebutkan beberapa macam makanan yang diharamkan, kemudian Allah berfirman sebagai berikut:
"(Dan diharamkan juga) kamu mengetahui nasib dengan mengundi, bahwa yang demikian itu perbuatan fasik." (al-Maidah: 3)
Dan sabda Nabi:
"Tidak akan mencapai derajat yang tinggi orang yang menenung, atau mengetahui nasib dengan mengundi, atau menggagalkan bepergiannya karena percaya kepada alamat (tathayyur)." (Riwayat Nasa'i)

Sihir

Justru itu pula Islam menentang keras perbuatan sihir dan tukang sihir.
Tentang orang yang belajar ilmu sihir, al-Quran mengatakan:
"Mereka belajar suatu ilmu yang membahayakan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat buat mereka." (al-Baqarah: 102)
Rasulullah s.a.w. menilai sihir sebagai salah satu daripada dosa besar yang bisa merusak dan menghancurkan sesuatu bangsa sebelum terkena kepada pribadi seseorang, dan dapat menurunkan derajat pelakunya di dunia ini sebelum pindah ke akhirat. Justru itu Nabi bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara besar yang merusak. Para sahabat bertanya: Apakah tujuh perkara itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu: 1) menyekutukan Allah; 2) sihir; 3) membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali karena hak; 4) makan harta riba; 5) makan harta anak yatim, 6) lari dari peperangan; 7) menuduh perempuan-perempuan baik, terjaga dan beriman." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sebagian ahli fiqih menganggap, bahwa sihir itu berarti kufur, atau membawa kepada kufur.
Sementara ada juga yang berpendapat: ahli sihir itu wajib dibunuh demi melindungi masyarakat dari bahaya sihir.
Al-Quran juga telah mengajar kita supaya kita suka berlindung diri kepada Allah dari kejahatan tukang sihir, yaitu firmanNya:
"(Dan aku berlindung diri) dari kejahatan tukang meniup simpul." (al-Falaq: 4)
Peniup simpul salah satu cara dan ciri yang dilakukan ahli-ahli sihir. Dalam salah satu hadis dikatakan:
"Barangsiapa meniup simpul, maka sungguh ia telah menyihir, dan barangsiapa menyihir maka sungguh dia telah berbuat syirik." (Riwayat Thabarani dengan dua sanad; salah satu rawi-rawinya kepercayaan)
Sebagaimana halnya Islam telah mengharamkan pergi ke tempat dukun untuk menanyakan perkara-perkara ghaib, maka begitu juga Islam mengharamkan perbuatan sihir atau pergi ke tukang sihir untuk mengobati suatu penyakit yang telah dicobakan kepadanya, atau untuk mengatasi suatu problema yang dideritanya. Cara-cara semacam ini tidak diakuinya oleh Nabi sebagai golongannya. Sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami, barangsiapa yang menganggap sial karena alamat (tathayyur) atau minta ditebak kesialannya dan menenung atau minta ditenungkan, atau menyihir atau minta disihirkan." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik)
Ibnu Mas'ud juga pernah berkata:
"Barangsiapa pergi ke tukang ramal, atau ke tukang sihir atau ke tukang tenung, kemudian ia bertanya dan percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dan Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dan bersabda pula Rasulullah s.a.w.:
"Tidak akan masuk sorga pencandu arak, dan tidak pula orang yang percaya kepada sihir dan tidak pula orang yang memutuskan silaturrahmi." (Riwayat Ibnu Hibban)
Haramnya sihir di sini tidak hanya terbatas kepada si tukang sihirnya saja, bahkan meliputi setiap yang percaya kepada sihir dan percaya kepada apa yang dikatakan oleh si tukang sihir itu.
Lebih hebat lagi haram dan kejahatannya apabila sihir itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang haram, seperti menceraikan antara suami-isteri, mengganggu seseorang dan sebagainya yang biasa dikenal di kalangan ahli-ahli sihir.

4.1.6 Bertangkal

Termasuk dalam bab ini ialah masalah bertangkal dan menggantungkan diri pada kubur dan sebagainya, dengan suatu anggapan, bahwa tangkal dan kubur ini akan dapat menyembuhkan penyakit atau dapat melindungi diri dari mara-bahaya.
Pada abad ke 20 ini masih banyak orang yang menggantungkan tapal kuda di atas pintu rumahnya. Dan sampai hari ini di berbagai negara masih banyak orang-orang hendak memperbodoh orang bodoh. Mereka menulis tangkal-tangkal, membuat beberapa garis azimat dan membacakan azimat-azimatnya itu dengan suatu anggapan, bahwa azimatnya itu dapat melindungi si pembawanya dari gangguan jin, sengatan kalajengking, kejahatan mata, kedengkian orang dan sebagainya.
Untuk menjaga keselamatan diri dan mengobati penyakit, ada cara-caranya sendiri yang sudah dikenal menurut ketetapan syariat Islam. Islam sangat menentang siapa yang mengabaikan cara-cara itu, dan siapa yang menggunakan cara-cara yang dilakukan pendusta-pendusta yang menyesatkan itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berobatlah kamu, karena sesungguhnya Dzat yang membuat penyakit, Dia pula yang membuat obatnya." (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Kalau ada sesuatu yang lebih baik daripada obat-obatanmu, maka ketiga hal inilah yang lebih baik, yaitu: minum madu, atau berbekam, atau kei dengan api." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketiga cara berobat ini jiwanya dan analoginya dapat meliputi macam-macam cara pengobatan yang berlaku di zaman kita sekarang, misalnya pengobatan dengan melalui mulut, operasi, kei dan elektronik.
Adapun menggantungkan tangkal dan membaca mentera untuk berobat dan menjaga diri, adalah suatu kebodohan dan kesesatan yang bertentangan dengan sunnatullah dan dapat menghilangkan tauhid.
Uqbah bin 'Amir meriwayatkan, bahwa ada sepuluh orang berkendaraan datang ke tempat Rasulullah s.a.w. Yang sembilan dibai'at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka yang sembilan itu bertanya: mengapa dia ditahan? Rasulullah menjawab: karena di lengannya ada tangkal. Kemudian si laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka dibai'atlah dia oleh Rasulullah s.a.w. dan ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan (tangkal), maka sungguh dia telah menyekutukan Allah." (Riwayat Ahmad dan Hakim; dan lafaz hadis ini adalah lafaz Hakim, dan rawi-rawi Ahmad adalah kepercayaan)
Dalam hadisnya yang lain ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan tangkal, maka Allah tidak akan menyempurnakan (imannya), dan barangsiapa menggantungkan azimat, maka Allah tidak akan mempercayakan kepadanya." (Riwayat Ahmad, Abu Ya'la dan Hakim dan ia mensahkan) "Dari lmran bin Hushain; sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melihat di lengan seorang laki-laki ada gelang --yang saya lihat sari kuningan-- kemudian Rasulullah bertanya: "Celaka kamu, apa ini?!" Ia menjawab: "Ini adalah 'wahinah'" (sesuatu yang dapat melemahkan orang lain, sebangsa azimat). Maka jawab Rasulullah: Dia tidak akan menambah kamu, kecuali kelemahan; karena itu buanglah dia, sebab kalau kamu mati sedang wahinah itu masih ada pada kamu, maka kamu tidak akan bahagia selamanya." (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban; dan Ibnu Majah tapi tanpa kata: buanglah )
Pendidikan ini sangat berpengaruh pada pribadi-pribadi sahabat Rasulullah s.a.w., sehingga mereka dapat mengangkat diri mereka tanpa menerima kesesatan dan mempercayai kebatilan ini.
Isa bin Hamzah berkata: suatu ketika saya pernah masuk rumah Abdullah bin Hakam sedang waktu itu pada diri Abdullah ada tanda merah. Kemudian saya bertanya kepadanya: apakah kamu memakai tangkal? Jawab Abdullah: A'udzu billahi min dzalik (aku berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu). Dalam satu riwayat Abdullah mengatakan: Lebih baik aku mati daripada bertangkal, sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu (tangkal), maka dia akan dibebaninya." (Riwayat Tarmizi)
Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas'ud masuk rumah, sedang di leher isterinya ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas'ud dan dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan padanya. Kemudian ia berkata:
"Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: sesungguhnya tangkal, azimat dan tambul adalah syirik. Para sahabat kemudian bertanya: Ya aba Abdirrahman! Tangkal dan azimat ini kami sudah tahu, tetapi apakah tambul itu? Ia menjawab: tambul ialah sesuatu yang diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya selalu dapat bercinta dengan suami-suami mereka." (Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim)
Tambul adalah salah semacam sihir.
Para ulama berkata: tangkal yang dilarang; yaitu yang bukan bahasa Arab yang tidak dimengerti maksudnya, dan barangkali juga di situ terdapat sihir dan kata-kata kufur. Adapun kalimat yang dapat dimengerti dan didalamnya terdapat penyebutan Allah, maka kalimat semacam itu justru disunnatkan. Jadi tangkal waktu itu berarti doa dan harapan kepada Allah untuk kesembuhan dan berobat.
Tangkal yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah tercampur dengan sihir, syirik dan azimat yang samasekali tidak mempunyai makna yang dapat dimengerti.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah melarang isterinya berbuat semacam tangkal jahiliah ini, lantas isterinya berkata kepadanya: pada suatu hari saya keluar, kemudian si anu melihat saya maka melelehlah airmataku; tetapi apabila saya memakai tangkal ini airmataku tidak meleleh, tetapi kalau kubuang meleleh lagi. Maka berkatalah Ibnu Mas'ud kepadanya: dia itu adalah syaitan yang apabila kamu taat kepadanya, kamu akan ditinggalkannya, tetapi jika kamu durhaka kepadanya, maka ia akan cocok matamu dengan jarinya. Kalau kamu mau berbuat seperti apa yang dilakukan Nabi, adalah lebih baik dan lebih dapat diharapkan akan kesembuhanmu, yaitu: kamu percikkan air pada kedua matamu, sambil berdoa:
"Hilangkanlah penyakit ini hai Tuhan, sembuhkanlah aku, karena Engkaulah Dzat yang dapat menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, suatu kesembuhan yang tidak akan meninggalkan sakit." (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud dan Hakim)

Tathayyur (Merasa Sial)

Merasa sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan sebagainya adalah termasuk ramalan yang sangat laku di pasaran, secara berkelompok atau perorangan.
Di zaman dahulu pernah juga terjadi demikian, misalnya tentang kaum Nabi Saleh, mereka ini berkata kepadanya:
"Kami merasa sial sebab kamu dan orang-orang yang bersamamu." (an-Naml: 47)
Fir'aun dan kaumnya apabila ditimpa suatu musibah, mereka menganggap kesialannya itu karena Musa dan orang-orang yang bersamanya.1
Dan banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau mendapat bala' dari Allah, mereka kemudian berkata kepada para juru da'wah dan Rasul:
"Kami merasa sial sebab kamu semua." (Yasin:18)
Tetapi para Rasul itu kemudian menjawab:
"Kesialanmu itu sebab kamu sendiri." (Yasin: 19)
Yakni sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri, yaitu lantaran kamu kufur, ingkar dan memusuhi Allah dan RasulNya.
Orang-orang Arab jahiliah dalam segi ini mempunyai doa yang panjang dan bermacam-macam kepercayaan. Sehingga datanglah Islam kemudian dihapusnya dan mereka dikembalikan untuk mengikuti jalan fikiran yang lurus.
Rasulullah merangkaikan ramalan dan sihir dalam satu susunan, seperti sabdanya:
"Bukan dari golongan kami siapa yang merasa sial, atau minta diramalkan kesialannya, atau menenung, atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta disihirkan." (Riwayat Thabarani)
Dan sabdanya pula:
"Membuat garis di tanah, menganggap sial karena alamat dan melempar kerikil karena ada suatu kepercayaan, adalah termasuk menyembah selain Allah." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Tathayyur, satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau suatu kenyataan yang benar. Tathayyur, hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan yang salah (waham). Kalau tidak demikian, apa artinya seorang yang berakal percaya mendapat sial karena seseorang, atau karena tempat, karena dengkurnya suara burung, geraknya mata atau terdengarnya suatu perkataan?!
Apabila nalurinya manusia itu ada kelemahan, maka akan mengalir pada dirinya suatu anggapan sial karena sesuatu. Seharusnya dia tidak mau menerima kelemahan ini. Lebih-lebih apabila dia sudah sampai pada fase bekerja dan pelaksanaan.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satupun, yaitu: menuduh, tathayyur dan hasud. Oleh karena itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau merasa sial jangan surut (jangan kamu gagalkan pekerjaanmu), dan kalau kamu hasud, jangan lanjutkan." (Riwayat Thabarani)
Oleh karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan yang tidak berpengaruh pada suatu sikap dan perbuatan, maka dimaafkannya oleh Allah.
Dan diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tathayyur (merasa sial) adalah syirik." 3 kali.
Dan Ibnu Mas'ud sendiri berkata: " ...tetapi Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas'ud itu, ialah: setiap orang di antara kita ini ada perasaan-perasaan seperti itu, tetapi perasaan semacam ini akan hilang lenyap dari hati orang yang selalu tawakkal dan tidak membiarkan perasaannya itu tinggal dalam hati.

4.1.8 Memerangi Tradisi Jahiliah

Sebagaimana Islam memberantas pengikut-pengikutnya yang mengikuti kepercayaan-kepercayaan jahiliah dan ramalannya, karena akan berbahaya pada rasio, pekerti dan tingkahlaku, maka begitu juga Islam akan memerangi tradisi-tradisi jahiliah yang selalu menghidup-hidupkan ashabiyah, kecongkakan, kesombongan dan membangga-banggakan golongan.

4.1.9 Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam

Pertama kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini, yaitu: Islam tidak mengakui ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada ashabiyah.
Rasulullah sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian tidak akan diakui sebagai ummatnya.
Sabda Nabi:
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah." (Riwayat Abu Daud)
Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain.
Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta'asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan.
Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: "Apakah yang disebut ashabiyah itu?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu membela golonganmu pada kezaliman." (Riwayat Abu Daud)
Dan Allah telah juga berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu." (an-Nisa': 135) "Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil." (al-Maidah: 8)
Rasulullah menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya."
Setelah Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
"Ya Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti suatu pertolongan buat dia." (Riwayat Bukhari)
Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh al-Quran.
Islam samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap perserikatan yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam adalah musuh orang Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah berfirman:
"Kamu tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta kepada orang yang ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang ingkar itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka." (al-Mujadalah: 22)
Dan firmanNya pula:
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur daripada beriman." (at-Taubah: 23)

Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna Kulit

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki sampai memuncak kemarahannya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka kata Nabi kepada Abu Dzar:
"Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi perasaan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepadanya: 'Lihatlah, sesungguhnya engkau tidak lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan tidak pula lebih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kamu lebihkan dirimu dengan taqwalah.' (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
''Semua kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta dari tanah." (Riwayat Bazzar)
Dengan demikian, Islam mengharamkan setiap muslim berjalan mengikuti perasaan jahiliah, dalam persoalan menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena ayah dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama lain: saya anak si anu, saya keturunan anu, sedang engkau asal dari keturunan anu. Saya berkulit putih sedang engkau hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang Arab.
Apa nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga berasal dari satu keturunan? Misalkan nasab itu mempunyai nilai, tetapi apa kelebihan seseorang atau apa pula dosanya kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu?
Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua adalah anak-cucu Adam ... Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain, melainkan karena agama dan taqwanya ..." (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Manusia seluruhnya berasal dari Adam dan Hawa. Sedang Allah tidak menanyaimu tentang keturunanmu dan nasabmu nanti pada hari kiamat; sesungguhnya semulia-mulia kamu di hadapan Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu." (Riwayat Ibnu Jarir)
Rasulullah s.a.w. telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan diri lantaran ayah dan datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan menggetarkan hati. Beliau mengatakan:
"Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya; Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah. Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka; manusia seluruhnya anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Hadis ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran nenek-moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah s.a.w. di atas.
Dalam Haji Wada' yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia yang ingin mendengarkan tentang Islam di bulan haram dan di tanah haram, Rasulullah s.a.w. pernah menyampaikan pidatonya yang dikenal dengan Khuthbatul Wada' (khutbah perpisahan). Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, yang bunyinya sebagai berikut:
"Hai ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah satu. Ingatlah! Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi orang lain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit merah atas orang kulit hitam; dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit merah, melainkan lantaran taqwa, sebab sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertaqwa kepada Allah." (Riwayat Baihaqi)

4.1.11 Meratapi Orang yang Sudah Mati

Di antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu tradisi jahiliah yang berkenaan dengan masalah kematian, misalnya: meratap, teriak-teriak dan berlebih-lebihan dalam melahirkan kesusahan dan kedukaan.
Islam mengajar ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat lain, bukan musnah samasekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh karena itu setiap mu'min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah, yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan kembali).
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang tidak diakui oleh Rasulullah s.a.w, sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Tidak halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias atau mengganti pakaian dan gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan duka dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, guna memenuhi hak suami dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai melanjutkan beberapa hak suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan sebagai anyaman atas perkawinan yang lalu.
Tetapi kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara, maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah isteri Nabi s.a.w. ketika ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia berkata: "Demi Allah, saya tidak lagi memerlukan uangi-uangian, namun saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari." (Riwayat Bukhari)
Berkabungnya isteri karena meninggalnya suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh diabaikannya, sebab ada satu riwayat sebagai berikut:
"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak." (Riwayat Bukhari dari Ummu Habibah)
Ini menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah ditentukan.
Adapun susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa teriak-teriak, termasuk masalah fitrah (pembawaan). Oleh karena itu tidaklah berdosa.
Diriwayatkan, bahwa Umar Ibnul-khattab pernah mendengar sementara perempuan menangis karena kematian Khalid bin al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang hendak melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata: "Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu Sulaiman ini (Khalid bin Walid), selama tangisnya itu tidak menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak teriak-teriak."

4.2 Bagian Mu'amalah (Hubungan Pekerjaan)

ALLAH menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk itu Allah memberikan inspirasi (ilham) kepada mereka untuk mengadakan pertukaran perdagangan dan semua yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli dan semua cara perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan lurus dan irama hidup ini berjalan dengan baik dan produktif.
Nabi Muhammad s.a.w. diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam perdagangan dan pertukaran. Oleh karena itu sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat yang dibawanya. Sedang sebagiannya dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat.
Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, di antaranya:
  1. Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
  2. Karena ada unsur-unsur penipuan.
  3. Karena ada unsur-unsur pemaksaan.
  4. Karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian, dan sebagainya.

4.2.1 Menjual Sesuatu yang Haram, Hukumnya Haram

Apapun kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam. Atau kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi ummat manusia, tetapi dia itu satu macam daripada kemaksiatan, maka membeli ataupun memperdagangkan hukumnya haram misalnya: babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, patung, salib, lukisan dan sebagainya. Karena memperdagangkan barang-barang tersebut dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat, dapat membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia untuk menjalankan maksiat. Sedang dengan diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut dapat melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang untuk ingat kepada kemaksiatan serta menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat.
Untuk itu, maka Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung." (Riwayat Bukhari dan Muslim) "Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

4.2.2 Menjual Barang yang Masih Samar, Terlarang

Setiap aqad perdagangan ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu ada yang menipu. Justru itu cara ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w, sebagai usaha menutup pintu perbuatan maksiat (saddud dzara'ik).
Justru itu pula, dilaranglah menjual bibit binatang yang masih ada di dalam tulang rusuk binatang jantan, atau menjual anak yang masih dalam kandungan, atau menjual burung yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam air dan semua macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur penipuan.2
Ini semua justru karena tidak diketahuinya secara pasti benda yang dijualnya itu.
Di zaman Nabi pernah terjadi beberapa orang menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum nampak tua. Sesudah aqad, terjadilah suatu musibah yang tidak diduga-duga, maka rusaklah buah-buahan tersebut. Akhirnya terjadilah pertentangan antara si penjual dan si pembeli, Si penjual mengatakan: saya sudah menjualnya dan sudah ada persetujuan. Sedang si pembeli mengatakan: kamu menjual kepadaku buah-buahan tetapi nyatanya kini buah itu tidak ada, Waktu itulah Nabi kemudian melarang menjual buah-buahan sehingga jelas sudah masak/tua,3 kecuali dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika itu juga.
Beliau melarang juga menjual biji-bijian yang masih dalam tangkai, kecuali apabila sudah nampak memutih dan selamat dari musibah.4 Kemudian beliau bersabda:
"Apakah kamu beranggapan kalau Allah sudah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu menganggap halal untuk makan harta saudaranya?" (Riwayat Bukhari)
Tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak mungkin dia dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada di dalam temboknya itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara batil.
Kalau kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram, misalnya menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel, lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya mentimun, semangka dan sebagainya.
Begitulah menurut madzhab Malik, yang membolehkan menjual semua yang sangat dibutuhkan yang kiranya kesamarannya itu tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya aqad.5


Mempermainkan Harga

Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru itu kita lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya harga, beliau diminta oleh orang banyak supaya menentukan harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
"Allahlah yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memberi rezeki. Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di antara kamu yang meminta saya supaya berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta benda." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu Ya'la)
Rasulullah s.a.w. menegaskan dalam hadis tersebut, bahwa ikut campur dalam masalah pribadi orang lain tanpa suatu kepentingan yang mengharuskan, berarti suatu perbuatan zalim, di mana beliau ingin bertemu Allah dalam keadaan bersih samasekali dari pengaruh-pengaruh zalim itu.
Akan tetapi jika keadaan pasar itu tidak normal, misalnya ada penimbunan oleh sementara pedagang, dan adanya permainan harga oleh para pedagang, maka waktu itu kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi memenuhi kepentingan masyarakat dan demi menjaga dari perbuatan kesewenang-wenangan dan demi mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip hukum.
Dengan demikian, apa yang dimaksud oleh hadis di atas, bukan berarti mutlak dilarang menetapkan harga, sekalipun dengan maksud demi menghilangkan bahaya dan menghalang setiap perbuatan zalim. Bahkan menurut pendapat para ahli, bahwa menetapkan harga itu ada yang bersifat zalim dan terlarang, dan ada pula yang bijaksana dan halal.
Oleh karenanya, jika penetapan harga itu mengandung unsur-unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul; yaitu dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterima, atau melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan, maka jelas penetapan harga semacam itu hukumnya haram.
Tetapi jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka untuk menunaikan kewajiban membayar harga mitsil dan melarang mereka menambah dari harga mitsil, maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya waiib.
Dalam bagian pertama, masuk apa yang disebut oleh hadis di atas. Jadi kalau orang-orang menjual barang dagangannya menurut cara yang lazim tanpa ada sikap-sikap zalim dari mereka, kemudian harga naik, mungkin karena sedikitnya barang atau karena banyaknya orang yang membutuhkan, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, maka naiknya harga semacam itu kita serahkan kepada Allah. Tetapi kalau orang-orang dipaksa menjual barangnya dengan harga tertentu, ini namanya suatu pemaksaan yang tidak dapat dibenarkan.
Adapun dalam bagian kedua, yaitu misalnya si penjual tidak mau menjual barangnya, padahal sangat dibutuhkan orang banyak, melainkan dengan tambahan harga yang ditentukan, maka di sinilah timbulnya suatu keharusan memaksa mereka untuk menjual barangnya itu dengan harga mitsil.6
Pengertian menetapkan harga dalam hal ini hanyalah suatu pemaksaan untuk menjualnya dengan harga mitsil, dan suatu penetapan dengan cara yang adil sebagai memenuhi perintah Allah.7

4.2.4 Penimbun Dilaknat

Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda Rasul:
"Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya." (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa." (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti Fir'aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
"Sesungguhnya Fir'aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat salah/dosa." (al-Qashash: 8)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
"Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat." (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan:
  1. Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan melewati batas.
  2. Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapatkan barakah serta si pemiliknya sendiri --insya Allah-- akan beroleh rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi s.a.w.
Di antara hadis-hadis penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi. Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad --salah seorang gubernur dinasti Umaiyah-- untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma'qil: Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku ini seorang yang memeras darah haram? Ia menjawab: Tidak. Ia bertanya lagi: Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga orang-orang Islam? Ia menjawab: Saya tidak pernah melihat. Kemudian Ma'qil berkata: Dudukkan aku! Mereka pun kemudian mendudukkannya, lantas ia berkata: Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah s.a.w., bukan sekali dua kali.
Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat." Kemudian Abdullah bertanya: "Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w.?!" Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Dari nas-nas hadis tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
  1. Dilakukan di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
  2. Dengan maksud untuk menatkkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.

4.2.5 Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu

Dapat dipersamakan dengan menimbun yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w., yaitu: seorang kota menjualkan barang milik orang dusun. Bentuknya --sebagai yang dikatakan oleh para ulama-- adalah sebagai berikut: Ada seorang yang masih asing di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan orang banyak untuk dijual menurut harga yang lazim pada waktu itu. Kemudian datanglah seorang kota (penduduk kota tersebut) dan ia berkata: Serahkanlah barangmu itu kepada saya, biarkan sementara di sini untuk saya jualkan dengan harga yang tinggi. Padahal seandainya si orang dusun itu sendiri yang menjualnya, sudah barang tentu lebih murah dan dapat memberi manfaat pada kedua daerah dan dia sendiri akan mendapat untung juga.
Bentuk semacam ini, waktu itu sudah biasa terjadi di masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Anas r.a.:
"Kami dilarang orang kota menjualkan barang orang dusun, sekalipun dia itu saudara kandungnya sendiri." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, mereka bisa belajar: bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.
Sabda Nabi:
"Tidak boleh orang kota menjualkan untuk orang dusun; biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing." (Riwayat Muslim)
Dari kata-kata Nabi yang singkat biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing kita dapat membuat satu rumusan sebagai prinsip yang sangat penting dalam dunia perdagangan, yaitu: kiranya masalah pasar, harga dan pertukarannya dibiarkan mengikuti selera fitrah dan faktor-faktor tabi'i, tanpa dicampuri oleh suatu pemalsuan dari sementara orang.
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang maksud orang kota tidak boleh menjualkan untuk orang dusun, kemudian ia berkata: yaitu orang kota tidak menjadi makelar untuk orang dusun,
Pengertiannya, kalau orang kota itu menunjukkan harga dan memberi nasehat serta memberitahukan tentang keadaan pasar, tanpa ada maksud mencari keuntungan seperti yang biasa dilakukan oleh makelar-makelar itu, maka hal semacam ini tidaklah berdosa. Karena dia memberi nasehat demi mencari keridhaan Allah. Sedang nasehat adalah salah satu bagian dari agama, bahkan agama itu sendiri seluruhnya adalah nasehat. Seperti kata Nabi:
"Agama itu adalah nasehat" (Riwayat Muslim)
Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kamu minta nasehat kepada saudaranya, maka nasehatilah dia." (Riwayat Ahmad)
Makelar secara umum bermaksud mencari keuntungan, yang kadang-kadang dia lupa terhadap kepentingan umum.

4.2.6 Makelar Itu Sendiri Hukumnya Halal

Makelar untuk orang luar daerah tidak berdosa. Sebab makelar semacam ini salah satu bentuk penunjuk jalan dan perantara antara penjual dengan pembeli, dan banyak memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan antara kedua belah pihak.
Makelar atau katakanlah perantara dalam perdagangan, di zaman kita ini sangat penting artinya dibandingkan dengan masa-masa yang telah lalu, karena terikatnya perhubungan perdagangan antara importer dan produser, antara pedagang kolektif dan antara pedagang perorangan. Sehingga makelar dalam hal ini berperanan yang sangat penting sekali.
Tidak ada salahnya kalau makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang, atau secara prosentase dari keuntungan atau apa saja yang mereka sepakati bersama.
Al-Bukhari mengatakan dalam kitab Sahihnya: Bahwa Ibnu Sirin, 'Atha', Ibrahim dan al-Hasan menganggap tidak salah kalau makelar itu mengambil upah. Dan begitu juga Ibnu Abbas, ia berkata: Tidak ada salahnya kalau pedagang itu berkata kepada makelar: 'Juallah bajuku ini dengan harga sekian. Adapun lebihnya (jika ada untungnya) maka buat kamu.' Dan Ibnu Sirin juga berkata: Apabila pedagang berkata kepada makelar: 'Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedang keuntungannya untuk kamu.' Atau ia berkata: 'Keuntungannya bagi dua.', maka hal semacam itu dipandang tidak berdosa. Sebab Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda sebagai berikut:
"Orang Islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim dan lain-lain)8

Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram

Demi menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk menipu orang lain.
Kemudian agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke pasar.9
Dengan demikian, maka barang sebagai bahan baku masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu dilakukan setelah barang sampai di pasar.10

4.2.8 Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami

Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.

4.2.9 Banyak Sumpah

Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya sumpah palsu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan barakah." (Riwayat Bukhari)
Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:
  • Memungkinkan terjadinya suatu penipuan.
  • Menyebabkan hilangnya perasaan membesarkan asma' Allah dari hatinya.

4.2.10 Mengurangi Takaran dan Timbangan

Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:
"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152) "Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
"Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya."
Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:
"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara': 181-183)
Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.

4.2.11 Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri

Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.

4.2.12 Riba adalah Haram

Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."v

Hikmah Diharamkannya Riba

Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."11
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.

4.2.12.2 Pemberi Riba dan Penulisnya

Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang saksinya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi:
"Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang saksinya dan jurutulisnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena kepada si pengambil rente saja.
Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
  1. Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
  2. Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal hutang $10,-.
  3. Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang.
  4. Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.

4.2.12.3 Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang

Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang hukum agamanya, yaitu agama menyuruh supaya dia berlaku lurus dan sederhana dalam hidup dan kehidupannya.
Firman Allah:
"Dan jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan." (al-An'am: 141) "Jangan kamu boros, karena sesungguhnya orang yang boros adalah kawan syaitan." (al-Isra': 26-27)
Kalau al-Quran menuntut kepada orang-orang mu'min supaya menginfaqkan harta kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut kepada mereka melainkan supaya menginfaqkan sebagian harta, bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan sebagian hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,
Dengan kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi perlu berhutang, lebih-lebih Nabi sendiri tidak suka seorang muslim membiasakan berhutang. Sebab hutang dalam pandangan seorang muslim yang baik, adalah merupakan kesusahan di malam hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu Nabi selalu minta perlindungan kepada Allah dari berhutang. Doa Nabi itu sebagai berikut:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan dalam kekuasaan orang lain." (RiwayatAbu Daud)
Dan ia bersabda pula:
"Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Ya!" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Dan kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya ialah:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (Riwayat Bukhari)
Ia menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya besar terhadap budipekerti seseorang.
Beliau tidak mau menyembahyangi janazah, apabila diketahui bahwa waktu meninggalnya itu dia masih mempunyai tanggungan hutang padahal dia tidak dapat melunasinya, sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari akibat hutang. Sehingga apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau sendiri yang menyelesaikan hutangnya itu.
Dan sabdanya:
"Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang." (Riwayat Muslim)
Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali karena sangat perlu. Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali tidak boleh melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w. disebutkan:
"Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia." (Riwayat Bukhari)
Kalau seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente, padahal hutang adalah mubah, kecuali karena dharurat, dan didesak oleh suatu keperluan, maka bagaimana lagi kalau hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan rente?!

4.2.12.4 Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga

Termasuk yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu sebagaimana diperkenankan seorang muslim membeli secara kontan, maka begitu juga dia diperkenankan menangguhkan pembayarannya itu sampai pada batas tertentu, sesuai dengan perjanjian.
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo, untuk nafkah keluarganya. Begitu juga beliau pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi.12
Sekarang apabila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara fuqaha' ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga itu justru berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.
Tetapi jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang mengharamkannya tidak ada; dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.
Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat."13

4.2.12.5 Salam

Sebalik di atas, yaitu seorang muslim dibenarkan membayar uang lebih dahulu untuk barang yang akan diterimanya kemudian.
Cara semacam ini dalam fiqih Islam disebut salam.
lni salah satu macam mu'amalah yang waktu itu biasa berlaku di Madinah. Akan tetapi Nabi Muhammad s.a.w. ikut mencampuri persoalan tersebut dengan memberikan beberapa pedoman dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan tuntunan syariat Islam.
Ibnu Abbas meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w. tiba di Madinah, orang-orang pada menjalankan pengikat untuk. buah-buahan dalam jangka waktu setahun dan dua tahun. Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa mencengkerami buah-buahan, maka cengkeramilah dengan suatu takaran tertentu, dan timbangan tertentu pada batas waktu tertentu." (Riwayat Jam'ah)
Dengan membatas takaran, timbangan dan jangka waktu ini, maka akan hilanglah pertentangan dan kesamaran. Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan ikatan untuk jenis buah korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal itu oleh Nabi s.a.w. karena terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab kadang-kadang potion korma itu akan terserang hama sehingga tidak bisa berbuah.
Jadi bentuk yang paling selamat dan aman dalam mu'amalah seperti ini, yaitu tidak bersyarat dengan jenis kormanya atau jenis gandumnya, tetapi yang penting ialah syarat takaran dan timbangan.
Tetapi kalau di situ terdapat unsur-unsur pemerkosaan (exploitation) yang terang-terangan oleh pihak pemilik kebun, sehingga karena didorong oleh keperluan, terpaksa si pemberi ikatan harus menerima perjanjian tersebut, maka waktu itu dapat dihukumi haram.


Kerjasama dalam Suatu Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital

Barangkali akan ada orang bertanya: Bahwa Allah telah membagi rezeki dan kecakapan pada tiap-tiap manusia menurut ukurannya masing-masing. Sehingga banyak sekali kita jumpai di kalangan manusia ada yang mempunyai kecakapan dan pengetahuan, tetapi mereka tidak mempunyai modal uang. Sebaliknya tidak sedikit pula kita jumpai orang yang mempunyai uang banyak, tetapi pengetahuannya sangat minim atau boleh dikatakan samasekali tidak ada. Tetapi mengapa si pemilik modal tidak boleh memberikan uangnya itu kepada orang yang cakap dan berpengalaman, untuk diputar dan dikembangkan, dengan suatu imbalan keuntungan yang telah ditentukan. Sehingga dengan demikian yang mempunyai kecakapan itu bisa mengambil keuntungan uang tersebut, dan si pemilik uang pun dapat keuntungan dari kecakapan orang tersebut. Lebih-lebih kalau di situ ada projek besar yang memerlukan saham dari beberapa orang, sedang banyak di antara mereka yang memiliki kelebihan uang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan uangnya itu. Dalam keadaan demikian, mengapa uang yang banyak ini tidak boleh dipergunakan untuk projek vital yang besar yang dikembangkan oleh orang-orang yang ahli managemen dan pengetahuan?
Kami akan menjawab: sesungguhnya Islam tidak menghalang-halangi kerjasama kapital dan pengetahuan, atau antara uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkannya oleh fiqih Islam, tetapi kerjasama ini harus dilandasi dengan suatu perencanaan yang baik. Kalau si pemilik uang telah merelakan uangnya itu untuk syirkah dengan orang lain, maka dia harus berani menanggung segala resiko karena syirkahnya itu.
Oleh karena itu syariat Islam memberikan syarat dalam mu'amalah seperti ini yang oleh ahli-ahli fiqih dinamakan mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modalnya kepada orang lain), yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian. Prosentase keuntungan dan kerugian ini menurut persetujuan bersama. Keduanya boleh menentukan untuk salah satu pihak mendapatkan 1/2, 1/3, 1/4 atau kurang dari itu atau lebih; sedang sisanya untuk yang lain.
Kalau begitu, maka kerjasama antara modal dan pekerjaan, adalah kerjasama antara dua orang yang berserikat, yang masing-masing akan mendapatkan bagiannya, sedikit atau banyak. Kalau ada untung, maka keuntungannya dibagi menurut perjanjian yang telah ditentukan bersama. Dan jika rugi, maka kerugian itu diambilkan dari keuntungan. Dan jika kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan, bahkan bertambah, maka diambilkan dari modal, menurut besar-kecilnya kerugian. Dan kerugian yang diderita oleh pemilik uang bukan satu hal yang mustahil, sama halnya dengan kerugian yang dialami oleh kongsinya yang telah mengeluarkan tenaga dan keringatnya.
Begitulah peraturan Islam dalam persoalan ini. Adapun menentukan keuntungan kepada pemilik modal, tidak lebih dan tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda atau kerugian berlipat, maka cara seperti ini merupakan tikaman terhadap keadilan dan bisa membawa modal untuk menentang pengetahuan dan pekerjaan, bertentangan dengan hukum hidup yang memberi dan menahan dan dapat menggalakkan orang untuk mencintai pekerjaan tanpa kerja dan tanpa menanggung resiko. Inilah jiwa riba yang jahat itu.
Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan cara muzara'ah,14 yaitu menetapkan hasil dari bagian tanah tertentu, atau menentukan ukuran tertentu dari luar, misalnya satu kwintal atau dua kwintal.
Dilarangnya hal tersebut karena ada persamaannya dengan riba dan spekulasi. Sebab tanah itu kadang-kadang hanya menghasilkan sebanyak yang ditentukan itu dan kadang-kadang samasekali tidak menghasilkan. Maka waktu itu berarti di satu pihak menggaruk hasil dan di lain pihak menderita kerugian. Cara semacam ini tidak dapat diterima oleh keadilan.
Larangan muzara'ah ini dinyatakan dengan nas yang tegas. Dan menurut pendapat saya, ini adalah merupakan masalah prinsip, karena ijma' ulama yang menyatakan dalam mudharabah tidak boleh menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu pihak15 baik untung maupun rugi. Alasan para ulama tentang tidak bolehnya mudharabah seperti ini, sama dengan alasannya tentang tidak bolehnya muzara'ah, yaitu: karena apabila salah satu pihak menentukan syarat dengan keuntungan tertentu, padahal mungkin dia tidak akan beruntung kecuali pas sebanyak persyaratan tersebut, maka waktu itu dia akan mengambil keuntungannya itu semuanya; dan mungkin juga samasekali tidak beruntung. Atau kadang-kadang juga mendapat keuntungan yang besar sekali, maka waktu itu dia cukup merugikan pemilik uang.16
Alasan ini sesuai dengan jiwa Islam yang akan membangun setiap bentuk mu'amalah dengan landasan keadilan yang kukuh dan terang.

4.2.14 Syirkah antara Pemilik-Pemilik Modal

Sebagaimana Islam telah membenarkan seorang muslim menggunakan uangnya secara perorangan dalam usaha-usaha yang mubah, dan sebagaimana dibolehkannya seorang muslim untuk menyerahkan modalnya kepada orang yang ahli dengan cara mudharabah, maka begitu juga Islam memberi perkenan kepada para pemilik modal untuk mengadakan syirkah dalam suatu usaha apakah berupa perusahaan atau perdagangan dan sebagainya. Sebab di antara pekerjaan-pekerjaan dan projek-projek ada yang sangat membutuhkan banyak fikiran, tenaga dan modal. Sedang seseorang itu dinilai kecil apabila sendirian, tetapi dinilai banyak kalau bersama yang lain.
Untuk ini maka berfirmanlah Allah:
"Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa." (al-Maidah: 3)
Semua perbuatan dan sikap hidup yang menguntungkan seseorang atau masyarakat atau yang kiranya dapat melindungi seseorang dari marabahaya, dipandang sebagai perbuatan baik dan taqwa kalau disertai dengan niat yang baik.
Islam tidak hanya sekedar memberikan perkenan syirkah ini, bahkan akan memberkati pekerjaan tersebut dengan suatu pertolongan dari Allah di dunia ini dan pahala kelak di akhirat, selama dalam memutarkan roda pekerjaan ini mengikuti jalan yang dihalalkan Allah, tidak dengan riba, ghurur, zalim dan khianat dengan segala macamnya.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w, pernah bersabda sebagai berikut:
"Tangan Allah bersama dua orang yang berserikat, selama salah satu pihak tidak, berkhianat kepada yang lain; apabila salah satu pihak ada yang mengkhianati kawannya, maka tanganNya itu akan ditarik dari keduanya." (Riwayat Daraquthni)
Tangan Allah di sini adalah sebagai kata sindiran (kinayah), yakni pertolongan dan barakah.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
"Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu." (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami'nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).

4.2.15 Asuransi

Di antara bentuk mu'amalah baru, yaitu apa yang disebut asuransi. Ada yang berhubungan dengan masalah hidup, yang dinamakan asuransi jiwa dan ada pula asuransi sebagai jaminan kalau terjadi kecelakaan. Bagaimanakah pandangan Islam? Dibenarkankah?
Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kami ingin menanyakan tentang jiwa daripada perusahaan ini. Apa jiwanya? Dan bagaimana hubungannya antara yang menjadi anggota asuransi itu dengan pihak perusahaan? Atau dengan kata lain: Apakah anggota asuransi itu penuh sebagai anggota syirkah bagi perusahaan tersebut? Kalau benar demikian, setiap anggota syirkah (anggota asuransi) harus tunduk (bersekutu) terhadap keuntungan dan kerugian yang diperoleh dan diderita oleh perusahaan tersebut, menurut ketentuan ajaran Islam.
Dalam asuransi kecelakaan yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang (x rupiah misalnya) setiap tahun. Apabila dia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang jaminan itu hilang (perdagangan, perusahaan, kapal ataupun lainnya), sedang si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikitpun tidak mengembalikan kepada anggota asuransi itu. Tetapi jika terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah disetujui bersama.
Usaha semacam ini samasekali jauh dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat.
Dalam asuransi jiwa, apabila anggota asuransi itu membayar sejumlah uang $2,000.00 misalnya pada periode pertama kemudian mendadak meninggal dunia, maka dia akan mendapat pengembalian sejumlah uang tersebut dengan penuh, tidak kurang satu sen pun. Tetapi kalau dia itu bersyirkah dalam berdagangan, maka dia akan memperoleh kembalian uang sejumlah uang yang disetor pada periode itu ditambah dengan keuntungannya.
Kemudian apabila dia berkhianat kepada perusahaan dan tidak bisa lagi membayar untuk periode-periode berikutnya sedang dia sudah pernah membayar sebatiagiannya, maka sejumlah uangnya yang disetor itu atau sebagian besarnya akan hilang.
Ini paling tidak dapat dikatakan: suatu perjanjian yang rusak. Dan alasan karena antara kedua belah pihak sudah ada saling kerelaan dan keduanya sudah saling mengetahui kemanfaatannya itu tak berbobot. Sebab antara pemakaian riba dan yang memberinya makan juga sudah ada saling merelakan begitu juga kedua pemain judi sudah merelakan. Namun tokh karena kerelaannya itu tidak dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut, selama mu'amalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri tipuan dan kezaliman serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.

4.2.15.1 Apakah Asuransi dapat Digolongkan Yayasan Dana Bantuan

Apabila kita belum mendapat kejelasan dari segi manapun, bahwa hubungannya antara anggota asuransi dan perusahaan sebagai hubungan antara anggota syirkah dengan anggota lainnya, maka apa watak hubungan antara keduanya itu sekarang? Apakah hubungan setia kawan? Kalau benar demikian, maka lembaga ini adalah termasuk lembaga sosial yang ditegakkan berdasarkan saham dari orang-orang yang ingin menyumbangkan sejumlah uangnya dengan tujuan saling mengadakan bantuan satu sama lain. Namun agar di situ terdapat kerjasama yang baik antara seluruh anggota, guna memberikan pertolongan kepada pihak-pihak yang sedang dilanda suatu musibah, maka uang yang dikumpulkan demi terwujudnya cita-cita yang dimaksud, diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut:
  1. Setiap anggota yang menyetorkan uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
  2. Apabila uang itu akan diputar, maka harus dijalankan menurut aturan syara'.
  3. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya dia mendapat imbalan yang berlipat apabila terkena suatu musibah. Akan tetapi dia diberi dari uang jama'ah sebagai ganti atas kerugiannya itu atau sebagainya menurut izin yang diberikan oleh jama'ah.
  4. Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian). Oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi suatu peristiwa, maka harus diselesaikan menurut aturan syara'.17
Syarat-syarat ini tidak akan berlaku kecuali sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian koperasi dan lembaga-lembaga sosial yang kini biasa di kalangan kita, yaitu seseorang membayar tiap bulan dengan niat tabarru' (donatur); dia tidak boleh menarik kembali uangnya itu, dan tidak ditentukan jumlah bantuannya jika terjadi suatu musibah.
Adapun asuransi lebih-lebih asuransi jiwa, persyaratan ini samasekali tidak dapat diterapkan. Sebab:
1. Semua anggota asuransi tidak membayarkan uangnya itu dengan maksud tabarru', bahkan niat ini sedikitpun tidak terlintas padanya.
2. Badan asuransi memutar uangnya dengan jalan riba, sedang setiap muslim tidak dibenarkan bersyirkah dalam pekerjaan riba. Dan ini justru telah disetujui bersama oleh orang-orang yang memperketat maupun oleh orang-orang yang memperingan persoalan ini.
3. Anggota asuransi mengambil dari perusahaan --apabila telah habis waktu yang ditentukan-- sejumlah uang yang telah disetor dan sejumlah tambahan, apakah ini bukan berarti riba?!
Bertentangannya asuransi dengan arti bantuan sosial, yaitu bahwa asuransi memberi kepada orang kaya lebih banyak daripada kepada orang yang tidak mampu, sebab orang yang mampu membayar asuransi sejumlah uang yang lebih banyak, maka ketika ia mati karena suatu musibah, akan mendapat bagian yang lebih besar pula. Sedang bantuan sosial, adalah memberi kepada orang yang tidak mampu lebih banyak daripada lainnya.
4. Barangsiapa hendak menarik kembali uangnya itu, maka dia akan dikenakan kerugian yang cukup besar. Sedang pengurangan ini samasekali tidak dapat dibenarkan dalam pandangan syariat Islam.18

4.2.15.2 Sesuaikan dengan Islam

Asuransi kecelakaan menurut pendapat saya mungkin juga untuk disesuaikan dengan Islam, yaitu dalam bentuk:
Sumbangan berimbal, misalnya seorang anggota asuransi membayar uang kepada perusahaan dengan syarat dia akan diberi imbalan sejumlah uang karena ditimpa suatu musibah, sebagai bantuan untuk meringankan penderitaannya itu.
Bentuk asuransi seperti ini dibenarkan dalam pandangan sebagian madzhab Islam.
Jika asuransi dapat disesuaikan seperti tersebut, dan perusahaan yang menjalankannya itu samasekali bersih dari perbuatan riba, niscaya dapat dikatakan boleh.
Adapun asuransi jiwa menurut bentuknya yang ada sekarang seperti tersebut di atas, menurut pendapat saya samasekali jauh dari tuntunan syariat Islam.


Asuransi Menurut Aturan Islam

Kalau kita telah mengetahui, bahwa Islam tidak dapat menerima asuransi model sekarang ini dengan segala aktivitasnya yang telah berlaku, maka ini bukan berarti Islam menentang gagasan asuransi itu ansich.
Samasekali tidak demikian! Yang ditentang oleh Islam ialah beberapa prinsip dan caranya. Adapun jika ada cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sudah pasti Islam akan menyambutnya dengan baik.
Ringkasnya, bahwa aturan Islam telah menjamin ummatnya dan orang-orang yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam dengan cara-cara tersendiri, dalam seluruh peraturan dan pengarahannya. Ada kalanya jaminannya itu melalui sikap solider dari anggota masyarakat itu sendiri, dan ada kalanya melalui pemerintah dan lembaga baitul-maal.
Baitul-maal adalah asuransi secara umum untuk semua orang yang bernaung di bawah pemerintahan Islam.
Dalam syariat Islam ada suatu jaminan dan cara-cara menyalurkannya kepada seseorang yang sedang mendapat musibah,
Di bab yang terdahulu telah kami sebutkan, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan seseorang meminta, yaitu apabila dia ditimpa kelaparan. Dia boleh minta kepada pemerintah (waliyul amri), dan waliyul amri akan memberi ganti semua yang dideritanya itu atau yang kiranya cukup untuk meringankan sebagiannya.
Kita dapati juga suatu jaminan untuk ahli waris karena kematian keluarga, yaitu seperti yang disabdakan Nabi s.a.w.:
"Saya lebih berhak mengurus setiap muslim daripada dirinya sendiri; barangsiapa meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan hutang atau kebangkrutan, maka untuk saya dan menjadi tanggungan saya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di antara jaminan Islam terhadap ummatnya, ialah apa yang disebut bagian khusus untuk orang-orang yang berhutang (gharimin) dalam pembagian zakat.
Sementara ahli tafsir dari ulama-ulama salaf ada yang menafsirkan kata gharimin, yaitu: orang yang rumahnya terbakar, atau hartanya hanyut oleh banjir dan sebagainya.
Sementara ahli fiqih juga ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan demikian dia boleh diberi bantuan dari uang zakat, sebanyak harta yang dideritanya itu, sekalipun beribu-ribu banyaknya.

4.2.16 Memanfaatkan Tanah Pertanian

Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah tersebut dengan bercocoktanam.
Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w. melarang keras disia-siakannya harta.
"Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta."
Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara.

4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya

Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari Allah karena tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak. Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus sendiri tanah-tanah mereka itu, sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh Islam.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan demikian:
"Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari hasil (mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini. Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad dan Muslim)
Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara:
  1. Mungkin ditanaminya sendiri, atau
  2. Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu apapun. Yakni pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil oleh yang mengerjakannya.
Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza'i, bahwa ia berkata: "Atha', Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah yang tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan tidak juga dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri atau diberikannya kepada orang lain."
Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah dalam hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada Thawus, salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka akan beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang yang lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:
"Sungguh salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan." (Riwayat Bukhari)
Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan bersama.
Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit, alat atau hewan.
Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau mukhabarah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah.
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah.
Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara'ah; dan mereka berkata: "Muzara'ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w. sepeninggal beliau."
Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain?

Muzara'ah yang Tidak Dibenarkan

Ada suatu bentuk muzara'ah yang sudah biasa berlaku di zaman Nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada persengketaan; dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh lapangan.
Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah s.a.w. melihat, bahwa apa yang disebut keadilan, yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata:
"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara'ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah ... maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (Riwayat Bukhari)
Di lain riwayat Rafi' bin Khadij berkata:
"Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya." (Riwayat Muslim)
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat:
"Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu?" Mereka menjawab: "Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari korma dan gandum." Maka jawab Nabi, "Jangan kamu berbuat demikian." (Riwayat Bukhari)
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya, untuk ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi:
"Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah." (RiwayatAbu Daud)
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Justru itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi s.a.w. tidak mengharamkan menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut." (Riwayat Tarmizi)
Dan justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia menjawab: Hai Abu Abdirrahman! Kalau kamu tinggalkan penyewaan tanah (mukhabarah) niscaya mereka akan beranggapan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarangnya, padahal ia berkata:
"Bahwa saya akan menolong mereka dan akan memberi mereka." (Riwayat Ibnu Majah)
Jadi tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan tanahnya sekalipun di situ ada orang yang sangat ingin untuk mengerjakannya. Tetapi Nabi akan memberikan pertolongan kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak masyarakat Islam.
Kadang-kadang ada juga pemilik tanah yang lebih suka tanahnya itu dibiarkan gundul, tidak ditanami dan tidak ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada orang yang mampu mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz mengutus orang yang berkepentingan: supaya pemilik tanah itu menyerahkan tanahnya dengan pembagian 1/4, 1/3, atau 1/5 sampai 1/10 dan jangan dibiarkan tanah itu dalam keadaan gundul.
Cara keempat, yaitu: menyewakan tanahnya tersebut dengan uang, misalnya si pemilik tanah menyerahkan tanahnya itu kepada orang yang sanggup mengurusnya dengan penyewaan berupa uang dengan jumlah tertentu.
Cara ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang masyhur dibolehkannya. Tetapi sementara ada yang melarangnya dengan dalil hadis sahih yang menerangkan, bahwa Nabi s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian tertentu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang Badar, Rafi' bin Khadij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya meriwayatkan dari Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua tanahnya.20
Dapat dikecualikan dari penyewaan yang bernama kira' yaitu bentuk muzara'ah, karena tegas Nabi sendiri selalu melakukannya bersama penduduk Khaibar semasa hidup beliau dan kemudian dilanjutkannya oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bagi orang yang mau memperhatikan perkembangan perundang-undangan Islam dalam persoalan ini, kiranya akan jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam Muhalla: "Bahwa Rasulullah s.a.w. datang di tengah-tengah masyarakat yang biasa menyewakan tanah ladangnya --sebagaimana riwayat Rafi'dan lain-lain-- sedang tanah ladang tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul dan sesudahnya. Ini suatu hal yang tidak mungkin dapat diragukan lagi oleh setiap orang yang berakal. Kemudian tegas riwayat Jabir, Abu Said, Rafi', peserta Perang Badar dan dua orang peserta Perang Badar lagi dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w. melarang kira' secara keseluruhannya. Maka perkenan yang dahulu itu dibatalkan dengan yakin, tidak diragukan lagi. Oleh karena itu barangsiapa beranggapan, bahwa mansukhnya perkenan kira' itu telah ditarik kembali, dan kepastian mansukh itu telah batal, maka dia adalah berdusta dan mendustakan; berkata sesuatu yang tidak diketahuinya. Cara semacam ini jelas haram dengan nas al-Ouran, kecuali apabila dia dapat membawakan dalil, sedang dalil untuk itu samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang ditentukan dari hasil tanah tersebut misalnya 1/3 atau 1/4, dan ini tegas dilakukan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah dilarangnya bertahun-tahun lamanya. Dan penyewaan seperti ini terus berlangsung sampai beliau wafat."21
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf.
Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau perak (uang), tetapi dengan 1/3 atau 1/4.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus menjawab: "Mu'az bin Jabal --duta Nabi ke Yaman-- datang kepada kami, kemudian menyewakan tanah dengan 1/3 dan 1/4 sedang kami mengetahuinya sampai sekarang ini, yang seolah-olah menganggap, bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak). Adapun muzara'ah dipandangnya tidak apa-apa."
Yang berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar as-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau menyerahkan tanahnya kepada orang lain dengan penyewaan 1/3, 1/4 atau 1/10 nya sedang si pemilik tanah tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira'.
Ada pula segolongan tabi'in yang tidak membolehkan penyewaan tanah secara keseluruhannya, baik dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya hal tersebut dengan fi'liyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan Mu'az waktu di Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang ditetapkan untuk kaum muslimin pada mass-masa permulaan.
Adapun larangan menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.

4.2.16.3 Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang

Qias yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan tidak bolehnya menyewakan tanah gundul dengan uang, sebagai berikut:
a) Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan satu bagian tertentu dari hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang ditentukan untuk si pemilik tanah.
Rasulullah s.a.w. tidak membenarkan juga penyewaan tanah dengan bagian hasil (muzara'ah), melainkan dengan bagian yang masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya. Atau dengan kata lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan apabila tanah tersebut menghasilkan buah dan tidak diserang hama suatu apapun; dan juga bersama-sama menerima kerugian apabila tanah tersebut diserang hama.
Adapun menentukan bagian untuk salah satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar dan di lain pihak hanya mendapat keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya dengan perbuatan riba dan berjudi.
Kalau kita mau merenungkan masalah penyewaan tanah dengan uang menurut kacamata ini, maka apakah perbedaannya dengan penyewaan bagi hasil (muzara'ah) yang dilarangnya?
Sebab pemilik tanah sudah pasti akan menerima bahagiannya itu berupa uang, sedang pihak penyewa akan mempertaruhkan tenaga dan kecapaiannya dengan tidak mengetahui apakah akan beruntung atau rugi? Apakah tanahnya itu dapat menghasilkan atau tidak?
b) Orang yang menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh karena itu dia berhak mendapat upah atas persediaan yang diberikan kepada pihak penyewa dan persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti atas penyusutan yang dialami oleh barangnya itu sedikit demi sedikit.
Sekarang manakah persediaan yang harus diberikan oleh si pemilik tanah untuk dipersiapkan buat pihak penyewa? Padahal Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang dialami oleh tanah karena ditanami, sedang tanah tidak termakan dan tidak tergerak karena ditanami, seperti halnya bangunan dan alat?!
c) Seseorang yang menyewa rumah, secara langsung dapat memanfaatkan rumah itu dengan ditempati, misalnya, tanpa ada yang menghalangi sedikitpun. Begitu juga orang yang menyewa alat. Adapun penyewa tanah tidak dapat memanfaatkannya secara langsung. Ketika dia menyewa tidak sekaligus dapat memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah, bahkan dia harus berusaha dan mencurahkan fikiran guna memanfaatkannya, yang kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu setiap qias (analogi) untuk menyamakan persewaan tanah dengan rumah, adalah suatu qias yang tidak benar.
d) Dalam hadis Bukhari diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarang menjual buah-buahan yang masih dalam kebun (baca: pohonnya) sebelum nampak jelas baiknya, padahal waktu itu sudah diketahui selamat dari hama. Kemudian Rasulullah s.a.w. dalam memberikan alasan larangannya itu sebagai berikut:
"Apakah kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu itu halal mengambil harta saudaranya?" (Riwayat Bukhari)
Kalau demikian halnya tentang orang yang menjual buah-buahan yang sudah nampak baiknya tetapi belum dapat diyakinkan keselamatannya, yang kadang-kadang diserang oleh hama yang menghalang kesempurnaan masaknya buah-buahan tersebut, maka bagaimana halnya orang yang menyerahkan sebidang tanah gundul yang tidak dapat dipukul dengan kayak dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam ini tidak sepatutnya kita ajukan suatu pertanyaan: Apakah kamu akan beranggapan, jika Allah melarang tentang buah-buahan, berarti kamu halal mengambil harta saudaramu?!
Saya pernah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, ada beberapa kebun kapas yang dimakan ulat, sehingga tinggal pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi menghasilkan apa-apa, sedang si pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si penyewa tidak ada jalan lain hanya menyerah bulat di bawah kekejaman belenggu yang melilit. Maka di manakah letaknya tolong-menolong (ta'awun)? Dan di mana letaknya keadilan yang selalu dicanangkan oleh Islam?
Keadilan tidak akan terwujud, kecuali dengan muzara'ah (penyewaan bagi hasil menurut prosentase) di mana keuntungan dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua belah pihak.22
Sekalipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira', dan lebih mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab dalam Muzara'ah itu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, Berbeda dengan kira', maka pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan, sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat."23
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim dalam komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa dan militer terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: "Kalau militer dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut syariat yang telah ditentukan Allah dan RasulNya serta perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya mereka akan memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu barakahNya dari langit dan bumi. Namun penghasilan yang berlipat sekarang ini mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan kekejaman mereka itu tetap membantahnya, sehingga mereka hanya berbuat kezaliman dan dosa. Mereka tidak mau menerima barakah dan keluasan rezeki. Oleh karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa dan dicabutnya barakah itu di dunia ini."
Kalau ditanyakan: "Bagaimanakah syariat yang telah ditentukan Allah dan Rasul serta perbuatan para khalifah, sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh taufik dari Allah?"
Jawabnya: Penyewaan dengan bagi hasil (mazara'ah) dengan adil, itulah yang harus lama-lama dilakukan oleh pemilik tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan untuk satu pihak terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah. Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang menyebabkan hancurnya negara, rusaknya masyarakat, terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan para militer dan pembesar berani makan barang haram. Padahal kalau sesuatu tubuh tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempatnya.
Muzara'ah yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah. s.a.w., para Khulafaur Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga Usman, keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian kebanyakan para sahabat, seperti: Ibnu Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain lagi. Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis, seperti: Imam Ahmad, Ishak bin Rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam seperti: Al-Laits bin Sa'ad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah s.a.w. sendiri telah melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar, yaitu dengan separuh dari hasil tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Mu'amalah seperti ini terus berlangsung sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar dari Khaibar. Nabi memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya dan bibit dari mereka, bukan dari Nabi.
Oleh karena itu pendapat yang paling benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak penyewa, sebagaimana nas hadis, dan boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab menyewakan tanah dengan perjanjian bibit dari Umar dan dia akan mendapat lebih dari separuh. Kalau bibit dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.24
Seluruh riwayat yang menerangkan tentang muzara'ah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para khalifahnya bersama orang-orang Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyewa.

Syirkah dalam Memelihara Binatang

Ada satu macam mu'amalah yang berlaku di negeri kita ini (Arab), khususnya di desa-desa, yaitu apa yang disebut syirkah dalam memelihara hewan dan binatang ternak. Salah satu pihak membayar semua harga atau sebagiannya, sedang di pihak lain memelihara. Sesudah itu antara kedua belah pihak membagi hasil dan keuntungannya.
Supaya jelas, maka kami akan menjelaskan beberapa macam bentuk syirkah ini, yaitu sebagai berikut:
BENTUK PERTAMA: Syirkah semata-mata untuk tujuan dagang. Misalnya syirkah dalam memelihara anak lembu supaya gemuk, atau memelihara sapi dan kerbau untuk menghasilkan susu.
Yang harus dipenuhinya dalam hal ini, ialah pihak pertama harus membayar harga lembu, sedang pihak kedua memeliharanya. Sedang pembiayaannya, seperti: makannya dan minumnya, dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan kalau dijual, nafkahnya itu dipisahkan dari harga penjualan, sedang sisanya dari keuntungan dibagi menurut perjanjian.
Tidak adil kalau satu pihak dibebani nafkah, padahal dia tidak diberi imbalan, sedang keuntungannya dibagi dua. Ini kiranya cukup jelas.
BENTUK KEDUA: Syirkah antara pihak pertama yang membayar harga binatang dengan pihak lain yang memberi nafkah dan memelihara, dengan imbalan dia dapat memanfaatkan air susunya atau dipergunakan membajak, menarik air dan menanam.
Cara ini tidak apa-apa dan dapat dipandang baik apabila hewannya itu besar dan jelas dapat dimanfaatkan, baik air susunya ataupun tenaganya.
Betul nafkah yang dikeluarkan oleh pihak kedua dan kemudian dapat memanfaatkannya, itu tidak dapat diketahui keadilannya dan tidak ada persesuaiannya dibanding dengan pihak kedua, bahkan di dalamnya terdapat unsur kesamaran. Akan tetapi kami menganggap baik hal tersebut, dan kesamaran-kesamaran sedikit tidak kami anggap, sebab ada dalil yang hampir ada persamaannya dengan itu dalam syariat Islam, yaitu tentang masalah gadai, apabila barang yang digadaikan itu berupa hewan yang mungkin dikendarai atau diambil air susunya.
Dalam hadis yang sahih itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Punggung binatang itu boleh dinaiki karena nafkahnya apabila binatang tersebut tergadaikan; dan air susu unta dapat diminum karena nafkahnya apabila binatang tersebut digadaikan. Sedang kewajiban yang menaiki dan meminum air susunya ialah memberi nafkah." (Riwayat Bukhari dari jalan Abu Hurairah)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. menetapkan: karena nafkah, maka imbalannya ialah menaiki, apabila punggung binatang tersebut memungkinkan untuk dinaiki. Atau imbalannya itu air susunya, apabila binatang tersebut mempunyai air susu yang dapat diperah.
Apabila dalam masalah gadai ini dibolehkan, demi kepentingan kerjasama dan memperkuat hubungan antara seorang dengan yang lain, padahal nilai nafkah kadang-kadang lebih banyak dan kadang-kadang lebih sedikit kalau dibandingkan dengan nilai menaiki atau memerah air susunya, maka tidak salah, kalau kami membolehkan yang seperti itu dalam hal syirkah binatang seperti yang kami sebutkan di atas, demi memenuhi kebutuhan orang banyak juga.
Apa yang kami istimbatkan dari hadis ini seperti tersebut, adalah semata-mata pendapat kami. Semoga benar juga!
Adapun syirkah dalam hal anak lembu yang belum dapat diambil manfaatnya, baik tenaga maupun air susunya, atas dasar harga dari satu pihak sedang nafkahnya dari pihak lain, maka menurut kaidah Islam tidak dibenarkan. Sebab pihak yang mengeluarkan nafkah akan menderita kerugian sendirian, tanpa ada imbalan baik tenaga ataupun air susunya. Sedang di pihak lain dapat mengambil keuntungan atas biaya pihak ke satu.
Ini, samasekali tidak mencerminkan keadilan yang selalu ditekankan oleh Islam dalam seluruh macam mu'amalah.
Tetapi kalau dimungkinkan kedua belah pihak dapat membagi masalah nafkahnya sehingga tibalah saatnya binatang tersebut dapat dimanfaatkan, maka hal ini boleh saja, menurut pendapat kami.

4.3 Tentang Hiburan

ISLAM adalah agama realis, tidak tenggelam dalam dunia khayal dan lamunan. Tetapi Islam berjalan bersama manusia di atas dunia realita dan alam kenyataan.
Islam tidak memperlakukan manusia sebagai Malaikat yang bersayap dua, tiga dan empat. Tetapi Islam memperlakukan manusia sebagai manusia yang suka makan dan berjalan di pasar-pasar.
Justru itu Islam tidak mengharuskan manusia supaya dalam seluruh percakapannya itu berupa zikir, diamnya itu berarti berfikir, seluruh pendengarannya hanya kepada al-Quran dan seluruh senggangnya harus di masjid.
Islam mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk yang dicipta Allah, di mana Allah membuat mereka sebagai makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang, ketawa dan bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan minum.

4.3.1 Sekedarnya Saja

Meningkatnya rohani sebagian para sahabat, telah mencapai puncak di mana mereka beranggapan, bahwa kesungguhan yang membulat dan ketekunan beribadah, haruslah menjadi adat kebiasaannya sehingga mereka harus memalingkan dari kenikmatan hidup dan keindahan dunia, tidak bergembira dan tidak bermain-main. Bahkan seluruh pandangannya dan fikirannya hanya tertuju kepada akhirat melulu dengan seluruh isinya, serta jauh dari dunia dengan keindahannya.
Marilah kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia, namanya Handhalah al-Asidi, dia termasuk salah seorang penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya kepada kita sebagai berikut. Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian terjadilah suatu dialog:
Abubakar: Apa kabar, ya Handhalah?
Aku: Handhalah berbuat nifaq!
Abubakar: Subhanallah, apa katamu?
Aku: Bagaimana tidak! Aku selalu bersama Rasulullah s.a.w., ia menuturkan kepadaku tentang Neraka dan Sorga yang seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat dengan mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat Rasulullah s.a.w., kemudian saya bermain-main dengan isteri dan anak-anak saya dan bergelimang dalam pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu!
Abubakar: Demi Allah, saya juga berbuat demikian!
Aku: Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat Rasulullah s.a.w.
Kepadanya, saya katakan: Handhalah nifaq, ya Rasulullah!
Rasulullah: Apa!?
Aku: Ya Rasulullah! Begini ceritanya: saya selalu bersamamu. Engkau ceritakan kepada saya tentang Neraka dan Sorga, sehingga seolah-olah saya dapat melihat dengan mata-kepala. Tetapi apabila saya sudah keluar dari sisimu, saya bertemu dengan isteri dan anak-anak serta sibuk dalam pekerjaan, saya banyak lupa!
Kemudian Rasulullah s.a.w, bersabda:
"Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Sesungguhnya andaikata kamu disiplin terhadap apa yang pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalam zikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Handhalah, saa'atan, saa'atan! (berguraulah sekedarnya saja!). Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali." (Riwayat Muslim)

4.3.2 Rasulullah s.a.w. adalah Manusia

Kehidupan Rasulullah s.a.w. merupakan contoh yang baik bagi manusia. Dalam khulwatnya ia melakukan sembahyang dengan khusyu', menangis dan lama berdiri sehingga kedua kakinya bengkak. Dalam masalah kebenaran ia tidak mempedulikan seseorang, demi mencari keridhaan Allah. Tetapi dalam kehidupannya dan perhubungannya dengan orang lain, dia adalah manusia biasa yang sangat cinta kepada kebaikan, wajahnya berseri-seri dan tersenyum, bergembira dan bermain-main, dan tidak mau berkata kecuali yang hak.
Ia sangat cinta kepada kegembiraan dan apa saja yang dapat membawa kepada kegembiraan itu. Ia tidak suka susah dan apa saja yang membawa kesusahan, seperti berhutang dan hal-hal yang menyebabkan orang bisa payah; dan selalu minta perlindungan kepada Allah dari perbuatan yang tidak baik.
Dalam doanya itu ia mengatakan:
"Ya Tuhanku! Sesungyuhnya aku minta perlindungan kepadaMu dari duka dan susah." (Riwayat Abu Daud)
Dalam salah satu riwayat diceriterakan tentang berguraunya dengan seorang perempuan tua, yaitu: ada seorang tua masuk rumah Nabi minta agar Nabi mendoakannya supaya ia masuk sorga. Maka jawab Nabi: "Sorga tidak dapat menerima orang tua!!!"
Mendengar jawaban itu si perempuan tua tersebut menangis tersedu-sedu karena beranggapan, bahwa ia tidak akan masuk sorga.
Setelah Rasulullah s.a.w. melihat keadaan si perempuan tersebut, kemudian ia menerangkan maksud dari omongannya itu, yaitu: "Bahwa seorang tua tidak akan masuk sorga dengan keadaan tua bangka, bahkan akan dirubah bentuknya oleh Allah dalam bentuk lain, sehingga dia akan masuk sorga dalam keadaan masih muda belia. Kemudian ia membacakan ayat:
"Sesungguhnya Kami ciptakan mereka itu dalam ciptaan yang lain, maka kami jadikan mereka itu perawan-perawan, yang menyenangkan dan sebaya."25 (al-Waqi'ah: 35-37)

4.3.3 Hati Itu Bisa Bosan

Begitu juga para sahabatnya yang baik-baik itu, mereka biasa bergurau, ketawa, bermain-main dan berkata yang ganjil-ganjil, karena mereka mengetahui akan kebutuhan jiwanya dan ingin memenuhi panggilan fitrah serta hendak memberikan hak hati untuk beristirahat dan bergembira, agar dapat melangsungkan perjalanannya dalam menyusuri aktivitasnya. Sebab aktivitas hidupnya itu masih panjang.
Ali bin Abu Talib pernah berkata: "Sesungguhnya hati itu bisa bosan seperti badan. Oleh karena itu carilah segi-segi kebijaksanaan demi kepentingan hati."
Dan katanya pula: "Istirahatkanlah hatimu sekedarnya, sebab hati itu apabila tidak suka, bisa buta."
Abu Darda' pun berkata juga: "Sungguh hatiku akan kuisi dengan sesuatu yang kosong, supaya lebih dapat membantu untuk menegakkan yang hak."
Oleh karena itu, tidak salah kalau seorang muslim bergurau dan bermain-main yang kiranya dapat melapangkan hati. Tidak juga salah kalau seorang muslim menghibur dirinya dan rekan-rekannya dengan suatu hiburan yang mubah, dengan syarat kiranya hiburannya itu tidak menjadi kebiasaan dan perangai dalam seluruh waktunya, yaitu setiap pagi dan petang selalu dipenuhi dengan hiburan, sehingga dapat melupakan kewajiban dan melemahkan aktivitasnya. Maka tepatlah pepatah yang mengatakan: "Campurlah pembicaraan itu dengan sedikit bermain-main, seperti makanan yang dicampur dengan sedikit garam."
Dalam bermain-main itu, seorang muslim tidak diperkenankan menjadikan harga diri dan identitas seseorang sebagai sasaran permainannya. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satu kaum merendahkan kaum lain sebab barangkali mereka (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka (yang merendahkan)." (al-Hujurat: 11)
Tidak juga diperkenankan dalam berguraunya itu untuk ditertawakan orang lain, dengan menjadikan kedustaan sebagai wasilah. Sebab Rasulullah telah memperingatkan dengan sabdanya sebagai berikut:
"Celakalah orang yang beromong suatu omongan supaya ditertawakan orang lain, kemudian dia berdusta. Celakalah dia! Celakalah dia!" (Riwayat Tarmizi)